Tigabelas

529 79 14
                                    

Jiyeon berusaha menenangkan dirinya yang sejak tadi merasa begitu gugup.

"Sudah berapa bulan?"

"Mwo?"

Jiyeon memalingkan kepalanya menatap sosok wanita dewasa yang sejak tadi duduk di sebelahnya.

"Sudah berapa bulan dia?" ulang wanita berparas cantik itu. Arah pandangannya mengarah pada perut rata gadis di sampingnya.

Jiyeon menatap arah pandangan wanita itu. Dia meraba perut ratanya pelan, "6 minggu."

"Ah begitu," ucap wanita di samping Jiyeon mengangguk kecil. Dia kembali memalingkan pandangannya lalu menepuk tangan Jiyeon tiba-tiba.
"Yak bayi ku bergerak mau merasakannya juga?"

Jiyeon terperanjat untuk sesaat. Dia menatap wanita yang kini memegang tangannya itu bingung.

"Ah t-tidak usah!" Jiyeon menarik kembali tangannya yang hampir menyentuh perut buncit wanita di sampingnya. Dia menggeleng pelan menolak permintaan wanita itu dengan canggung, tidak perlu Jiyeon rasa. Kenapa dia juga harus merasakannya.

"Tidak apa-apa, coba kamu sentuh saja." Wanita itu tersenyum lembut, dia kembali memegang tangan Jiyeon lalu menempelkannya perlahan di perutnya

Deg!

Jiyeon terdiam. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat telapak tangannya merasakan ada gerakan kecil disana. Jiyeon menatap wajah cantik wanita di sampingnya, dia mempertanyakan hal luarbiasa apa yang dia rasakan.

"D-Dia bergerak?" Mata Jiyeon membulat sempurna, dia menatap tidak percaya pada telapak tangan kanannya yang menempel di perut buncit wanita baik hati itu.

Benar. Dia bergerak, bagaimana mungkin?

"Ne, anakmu nanti juga. Walaupun belum terlihat tetap saja dia ada dan hidup."

"Kau tahu sungguh sebuah keberkahan bisa mengandung. Beberapa wanita ada yang tidak bisa merasakannya walau mereka begitu menginginkannya. Tapi sebagian diantara mereka malah tidak mesyukuri berkah yang mereka terima, bahkan dengan kejam mereka malah membunuh darah daging mereka sendiri."

"Kamu masih sangat muda, aku yakin kamu bisa menjadi ibu yang baik untuk anakmu," ucap wanita di sampingnya seraya tersenyum kecil.  Jiyeon menjauhkan tangannya yang tadi di genggam wanita itu, dia membalas senyuman hangat wanita di sampingnya dengan senyuman canggung.

Dia benar. Tidak seharusnya jiyeon melakukan hal sejahat itu. Tidak seharusnya Jiyeon menyalahkan bayinya atas semua yang terjadi. Ini bukan kesalahannya, semua ini adalah tanggung jawab dirinya. Semua yang terjadi ini adalah kesalahannya dan bukan salah anaknya yang tidak berdosa.

Jiyeon beranjak dari duduknya. Dia menatap wanita di sampingnya lalu menunduk sesaat.

"Kamu tidak menunggu suamimu?" tanya wanita itu membuat Jiyeon tersenyum getir. Tidak Jiyeon tidak ingin menunggu Mingyu.

Jiyeon menggeleng pelan, "Tidak. Eonni terimakasih." Jiyeon melukiskan senyuman tipis pada wanita yang malah melukiskan raut wajah bingung, dia menatap penuh tanya pada sosok Jiyeon yang kini malah terburu-buru seakan tengah menghindari sesuatu.

"Aneh," bisik wanita itu menatap punggung kecil Jiyeon yang semakin menjauh. Dia mengangkat bahunya untuk sesaat lalu kembali mengelus perut buncitnya kembali.

***

Mingyu berjalan kembali ke tempat Jiyeon menunggu. Setelah berdiskusi dengan dokter yang temannya sarankan Mingyu semakin yakin jika keputusannya untuk menghilang bayi itu adalah tepat. Dia dan Jiyeon masih terlalu muda, jalan mereka begitu panjang jadi tidak ada alasan lain untuk mereka tetap mempertahankan nya.

YOUNG MOMWhere stories live. Discover now