☆4

8.9K 898 86
                                    

Mendengar suara batu-batu yang berjatuhan, semua terdiam. Suara pun hanya ada isak tangis ketakutan.

"Itu...longsoran atau apa?" bisik Suparman pada Elang yang disampingnya.

Mereka menunggu sampai suara itu menghilang.

"Mas Yos, ada riwayat tanah longsor yang pernah terjadi di sini?" tanya Ragil.

"Tidak, Pak. Alhamdulillah...pulau ini masih asli. Goa ini juga. Kita juga tidak pernah menebang pohon sembarangan."

Ragil dan keempat rekannya sedikit lega. Walaupun di saat yang sama mereka juga cemas karena hari semakin sore.

"Coba lagi, Lang," kata Ragil yang akhirnya beranjak dari tempatnya. Ia mendekati mulut goa dan meraba permukaan batu.

Sedikit. Sangat sedikit, Ragil melihat cela di atas. "Parman, sini," panggilnya.

Suparman mendekat.

"Coba lihat itu. Ada cela. Bisa lihat?" tunjuk Ragil pada titik yang dimaksud.

Elang dan Arjuna yang punya penglihatan paling bagus ikut mendekat.

"Hem." Elang mengangguk.

"Bisa angkat Conan ke cela itu?" tanya Ragil.

Karena di antara mereka, badan Conan paling standar.

"Siap, Bang." Sahut Suparman.

Lalu Conan pun diangkat oleh rekannya untuk memeriksa apakah cela itu bisa menjadi harapan mereka.

"Butuh waktu, Bang," lapor Conan.

Alhamdulillah, ada sedikit harapan. Tinggal usaha dan doa saja, batin Ragil.

Conan diam sesaat. Menutup matanya dan dengan ilmu bela diri yang dimilikinya, ia mencoba menyingkirkan batu tersebut. Batu yang tidak kecil tapi ia merasa masih bisa diusahakan.

Sementara dua rekannya tengah berusaha, yang lain bersiap menopang jika dibutuhkan sambil terus berusaha membuka jalan dari bawah.

Berkat usaha Conan dan Suparman, batu itu bergerak sedikit. Tapi hari sudah senja.

"Istirahat dulu. Magrib," jata Ragil.

Mereka yang bisa salat, ikut salat bersama Ragil.

"Bagian bawah, jelas susah. Kalau kita bisa menggerakkan batu itu...mungkin bisa keluar," kata Ragil usai mereka salat. "Minimal adik-adik itu bisa keluar dulu."

Akhirnya bergantian mereka berusaha menyingkirkan batu tersebut. Kondisi normal, ukuran batu itu bukan halangan tapi karena posisi dan takut terjadi longsor susulan, mereka harus ekstra hati-hati.

Bahkan Ragil sendiri memaksa ikut membantu. Ia tidak bisa diam saja sementara yang lain berjuang.

"Bang Ragil, sudah cukup. Tenaga Abang bukan untuk saat ini. Tenaga Abang jauh dibutuhkan oleh penduduk pulau." Conan mencegah Ragil yang hendak menghancurkan batu itu dengan tangannya. "Jangan sampai Abang apalagi tangan Abang luka."

"Memang kenapa dengan Pak Ragil?" tanya Hilwana keceplosan.

Walaupun gelap tapi semua tahu Hilwana ada di sebelah mana dan mereka memandangnya.

"Karena dia dokter, Nona," jawab Suparman kalem.

"Allahu akbar!" seru Hilwana tanpa sadar. "Pak Ragil itu dokter?"

"Military doctor?" ujar seorang wisatawan asing.

"Yes, he is." Sahut Arjuna.

"Ah ya, doc...you better stay away, doc," kata wisatawan itu lagi.

ISLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang