☆3

9.4K 935 76
                                    

Terjadi bencana. Entah tanah longsor atau gempa bumi.

Kembali terjadi teriakan histeris.

"Bang Elang! Mohon petunjuknya!" Terdengar suara Conan entah dari sisi mana. Semua gelap.

"Everybody, please stay calm! Call me Ragil. My friends and I are Indonesian army. We'll try our best to rescue us so we can get out from here. We really need your cooperation by stay calm. Don't waste your oxygen by raising tantrum now. Understood?" perintahnya tegas dan penuh wibawa. Ia juga menerjemahkan ke bahasa Perancis dan Korea sesuai asal beberapa wisatawan lain yang ia tahu.

"C'est impossible! (Tidak mungkin)" seru seseorang tak percaya.

"Oui, je comprends. C'est difficile mais Dieu avec nous. (Ya, saya mengerti. Itu susah tapi Tuhan beserta kita)" sahut Ragil tenang. Ia menunduk ke bawah, pada orang-orang yang direngkuhnya. "Nona, anda tidak apa-apa? Adik-adik baik-baik saja kan?" tanyanya lembut.

Hilwana yang terpesona sejak Ragil membuka mulutnya itu mengangguk lalu ingat kondisi gelap tak mungkin tampak. "Ya, alhamdulillah. Pon, Salman, Romi?"

"I-iya, Bu, Pak," cicit mereka disela sesenggukan.

"Alhamdulillah." Ragil menepuk lembut entah kepala anak yang mana. "Are you guys okay? No one get serious injuries? If yes, tell me."

"Ne."

"Oui."

"Yes."

"Good, at least all of us still in one piece. We'll start to work now," kata Ragil sedikit lega dan memberi instruksi apa saja yang harus mereka lakukan terutama berkumpul di satu titik. "Stay calm, okay!"

Setelah warga sipil dirasa aman untuk sementara, Elang pun berkordinasi bersama keempat yang lainnya.

"Bang Ragil jaga warga saja. Jangan sampai Abang terluka karena kalau kita berhasil keluar dari sini, Abang akan sangat dibutuhkan warga. Biar kami yang berusaha," kata Arjuna.

"Tenaga kalian juga sama dibutuhkannya," sahut Ragil tak suka tapi ia diam. Tak baik berdebat. Lebih berharga menyelamatkan diri mereka.

Setelahnya, Elang dan yang lain menyusuri arah jalan masuk dan melihat adakah batu rapuh sehingga ada celah untuk mereka. Hasilnya nihil. Adapun batu yang berhasil disingkirkan hanya segenggaman tangan. Tapi lumayan, setidaknya ada sedikit pencahayaan.

Ragil dan yang lainnya tahu, sekuat apapun tempaan mereka, melawan batu besar dan kuat jelas jauh lebih sulit daripada melawan musuh yang bergerak. Tapi ini masih awal.

"Nihil, Bang." Terdengar suara Suparman.

"Sebaiknya jangan buang tenaga di sini. Kita geser ke mulut goa satunya," perintah Elang.

Di antara mereka berlima, satu letting senior adalah Ragil dan Elang, sisanya adalah junior mereka berdua. Dan seperti biasanya, jika hanya mereka, komando sering diberikan kepada Elang daripada Ragil.

Lalu Elang dan yang lainnya pun bergeser ke mulut goa yang satunya. Yang mengarah ke air terjun.

"Mas tour guide, siapa namanya?" tanya Elang.

"Yos, Pak," jawabnya.

"Medan di sekitar air terjun seperti apa?"

"Ya seperti medan di sekitar air terjun pada umumnya. Tanah berbatu." Yos bingung bagaimana menjelaskannya.

"Kira-kira ada jalan kalau kita keluar ke sisi air terjun?"

"Kalau jalan normalnya ya hanya melewati goa ini, Pak. Kalau lewat air terjun, biasanya kita, orang sini, naik lewat akar pohon, Pak," terang Yos.

ISLANDOù les histoires vivent. Découvrez maintenant