☆14

8.8K 885 83
                                    

Sore itu di luar rumah, angin terasa semilir dan sejuk tapi tidak dengan di dalam.

Prima tersenyum menenangkan. "Saya tidak bohong. Coba bayangkan apa yang harus saya katakan pada orang tua yang akan ditinggal pergi oleh anaknya selama lima tahun? Kita ini tidak menggenggam takdir kan?" Ia menghela napas. "Saya tidak bisa menentang para orang tua itu tanpa alasan yang cukup, sementara saya tahu betapa Hilwa ingin menghindari perjodohan kami sekaligus dia ingin mengejar cita-citanya mengajar di pulau terpencil. Haris, adik Hilwa yang cerita."

"Jadi?" Sahil berusaha menetralkan emosinya sambil terus istigfar dalam hati. Entah ke mana pendidikan dan pelatihan yang dijalaninya selama ini? Rasanya menguap begitu saja...karena seorang perempuan! Baginya itu cukup membahayakan.

"Saya ini orangnya realistis. Jadi saya pasrahkan pada takdir," jelas Prima. "Seandainya sebelum lima tahun saya bertemu seseorang, saya akan memperjuangkan pasangan saya. Tidak mungkin saya menunggu dalam ketidakpastian walaupun pekerjaan kita penuh ketidakpastian." Ia tersenyum miris. "Tapi dalam perjalanannya, selama lima tahun ini saya  belum bertemu siapapun. Justru Hilwa yang bertemu seseorang. Itu sudah pertanda buat saya bahwa dia bukan jodoh saya."

Sahil terdiam, mencerna semua ucapan Prima.

"Mas Sahil, kepergian Hilwa ke pulau itu cukup mengguncang hati para orang tua itu. Terutama Tante Atiqah yang sampai jatuh sakit, sementara posisi saya akan berangkat ke Lebanon." Prima menatap Sahil lurus-lurus. "Kita abdi negara yang sudah melihat hampir seluruh wilayah Indonesia. Dan Mas Sahil tahu betapa saudara-saudara kita di luar Jawa ini butuh tenaga pengajar, terutama di daerah terpencil. Tidak mungkin saya melarang orang yang bersedia mengabdi ke sana apapun alasannya demi kepentingan pribadi yang sangat tidak urgent itu kan? Jadi untuk menenangkan mereka, saya bilang saya bersedia menunggu Hilwa. Padahal nasib saya saja tidak tahu. Hidupkah? Matikah?"

"Tidak semudah itu, Bang," sahut Sahil akhirnya.

"Saya memang tidak mengiyakan atau menolak perjodohan ini. Saya betul-betul pasrahkan pada takdir. Jadi ketika Om Tamam mengajak bertemu Hilwa, saya rasa tidak ada salahnya berkenalan dengannya. Sulit untuk menghindar sementara kami sudah ada di kota yang sama. Sungguh, saya tidak ada ekspektasi apapun. Ternyata kejadiannya malah seperti ini. Bodoh sekali kalau memaksa maju."

"Kapten merendahkan diri sendiri," kata Sahil.

Prima tertawa. "Justru anda yang merendahkan diri sendiri." Lalu ia menghela napasnya. "Pernikahan yang berhasil perlu kerjasama dari kedua belah pihak. Sementara saya jalan di tempat sedangkan Hilwa mundur seribu langkah. Pernikahan model apa yang begitu? Atau ini plesetan model baru seperti jangan kawin lari karena kawin duduk saja capek, apalagi kawin lari."

Mendengar itu mau tak mau Sahil tersenyum.

"Hilwa belum resmi jadi milik siapapun. Mas Sahil bersedia dan Hilwa tampak jelas tertarik dengan anda tapi dia takut," kata Prima.

Sahil mengangguk. "Ya. Dia minder." Seandainya ia sedang bicara dengan keluarganya sendiri, ia pasti sudah manyun saat mengatakan itu.

Prima mengangguk juga. "Menjadi istri tentara itu tidak mudah apalagi pasukan khusus." Ia terdiam beberapa saat. "Maju saja. All fair in love and war selama itu peperangan yang adil."

Sahil menggeleng sambil tersenyum. "Tak ada peperangan yang adil. Pasti jatuh korban."

"Dan saya bukan orang serakah yang mengambil bunga cantik sekalipun di tanah tak bertuan. Jangan khawatirkan saya dan keluarga saya. Sejujurnya Mama sudah lama berpikir ulang tentang saya dan Hilwa. Kadang-kadang suka menyuruh saya segera membawa pendamping. Terlalu lama kalau harus menunggu Hilwa apalagi tanpa ada ikatan pasti. Di sisi lain Papa memang ngotot bahkan ingin melamar sendiri Hilwa untuk saya. Saya mengancam bahwa tidak akan ada pernikahan apabila pengantinnya sendiri tidak ada."

"Bunuh diri?" Kedua mata Sahil terbelalak.

"Tidak. Bunuh diri bukan solusi. Hanya akan menambah masalah baru. Mungkin minta ditugaskan lama di perbatasan atau apa, melakukan sesuatu seperti yang Hilwa lakukan."

🌴🌴🌴

Tidak butuh waktu lama ternyata bagi Sahil untuk menginjakkan kakinya lagi di rumah Hilwana. Esoknya ia diundang makan malam.

"Jadi Mas Sahil ini dokter?" tanya Tamam saat mereka ngobrol santai di ruang tengah usai makan. Tapi bagi Sahil itu adalah interogasi.

Sahil hanya menanggapi dengan senyuman.

"Kenapa kemarin bilangnya hanya kesehatan?" cecar Tamam. Ia merasa dibodohi.

"Apa nilai saya akan turun kalau saya bilang saya ini perawat, ahli gizi atau apoteker?" tanya Sahil lembut.

Wajah Tamam memerah. Pertama kalinya ia malu padahal dalam bisnis ia selalu berprinsip jangan meremehkan hal kecil. Ia berdeham. "Berapa usianya? Kemarin Hilwa cerita tapi mungkin saya salah dengar."

"Dua enam."

Tamam melotot tak percaya. "Jadi betul-betul dua enam? Tapi...dokter kan sekolahnya lama...dan...betulkah Mas Sahil ini Kopassus?" tanyanya hati-hati. Tapi semalam saat ia menghubungi Prima untuk cross check tentang jati diri Sahil, walaupun Prima tidak mungkin bohong tapi ia menolak percaya.

Sahil masih tersenyum lembut. "Ya, betul. Kemarin saya sudah bilang di mana kesatuan saya. Hanya Kopassus yang menggunakan istilah grup."

Kening Tamam mengerut dalam. Otaknya sedang mengkalkulasi semuanya. "Rasanya tidak mungkin. Untuk sekolah kedokteran saja butuh waktu lama."

"Kebetulan saya lulus SMA lebih cepat."

"Tetap saja itu masih tidak mungkin."

Sahil menatap Papa Hilwana dengan tenang. "Saya sudah lulus SMA ketika teman-teman seusia saya baru lulus SMP. Ketika mereka daftar ke SMA, saya daftar kuliah. Begitu lulus kedokteran, saya langsung masuk tentara."

"Berarti masih dokter umum?"

Sahil mengangguk. "Usia saya tidak mencukupi untuk langsung daftar tentara begitu lulus SMA."

Tamam kelihatan sekali kalau tengah syok. "Owalah...Hilwa, Hilwa...kamu kabur dari Mas Prima yang Infanteri malah ditangkap Kopassus. Berat hidupmu, Nduk."

Mendengar itu wajah Hilwana memerah sedang Sahil berusaha menahan tawa mendengar istilah Tamam.

"Yah...kalau Hilwanya mau...saya bisa apa?" gumam Tamam.

"Bapak merestui saya karena saya dokter dan Kopassus? Kalau karena itu, maaf, saya tidak bisa," ujar Sahil yang mengejutkan semua orang.

Dan tepat saat itu ponselnya berbunyi. Sahil minta izin untuk mengangkatnya dan menyingkir agak jauh. Tak lama ia kembali.

"Mengenai pernikahan...kalau memang Bapak berkenan kepada saya, tolong dipikir ulang." Sahil menoleh pada Hilwana. "Dan Hilwa, maaf saya tidak bisa menepati janji saya untuk tinggal di Malang lebih lama dan memperjuangkanmu. Saya harus kembali besok dengan pesawat pertama. Dan saya tidak tahu kapan akan kembali. Nanti, di manapun saya berada, saya akan selalu mendoakan kita. Dan jika saya kembali, saat kita bertemu lagi itulah jawaban untuk kita. Apapun itu. Kamu juga sebaiknya berdoa apakah saya jodohmu atau bukan. Sampai jumpa lagi." Sahil bangkit dan menyalami kedua orang tua Hilwana. "Saya pamit sekarang. Mohon maaf kalau akhirnya tidak mengenakkan begini. Saya tidak bermaksud mengacau tapi saya memang serius dengan Hilwana. Assalamu'alaikum."

✈✈✈

Adek Sahil dipanggil. Ada misi nih...nggak tau kapan akan kembali.

A. Dia pergi lama tapi selamat?

B. Dia pergi lama tapi cidera?

C. Dia pergi sebentar tapi selamat?

D. Dia pergi sebentar tapi cidera?

Oh ya, numpang bagi info ya...

Elle S'appelle Mia naik peringkat lagi kawan-kawan! Alhamdulillah 😊😊.

Sidoarjo, 27-02-2019

ISLANDKde žijí příběhy. Začni objevovat