☆16

9.6K 922 93
                                    

Dua hari sudah aku pulang ke Malang. Dan hari ini aku kembali lagi menginjakkan kaki di rumah megah milik pengusaha mebel, Tamam Mubarak.

"Bapak minta maaf kalau pertemuan kita yang terakhir kali mungkin menyinggung Mas Sahil," ucap Tamam tulus. "Mungkin Hilwa baru mengenal keluarga Mas Sahil tapi sedikitnya Mas Prima juga mengenal keluarga Mas Sahil. Setelah Mas Sahil pergi, saat bertemu lagi dengan Mas Prima, dia banyak cerita."

Sahil belum menanggapi sedikitpun. Ia masih mendengarkan dengan tenang.

Tamam menghela napas dalam. "Pasti Mas Sahil mengerti bahwa setiap orang tua ingin anaknya berpasangan dengan orang yang bibit bebet bobotnya bagus." Sahil mengangguk. "Dan patokan bibit bebet bobot secara umum adalah kesempurnaan duniawi. Kami lupa bahwa masih ada jodoh hingga akherat. Dan yang sempurna duniawinya menurut kami itu Mas Prima. Tapi waktu itu saya ingin berbesan dengan Papanya Mas Prima bukan saja mempererat pertemanan kami, melainkan juga karena saya menilai Mas Prima itu tidak neko-neko dan rajin shalat. Ternyata Mas Sahil justru lebih dari sekedar rajin shalat. Tapi...Hilwa seperti ini? Tidak apa-apa tidak berhijab?" tunjuknya pada Hilwana.

Sahil tersenyum pada Tamam. "Kewajiban suami adalah membimbing istrinya. Berhijab itu wajib tapi saya tidak akan memaksanya. Setiap hal yang dipaksa atau terpaksa hasilnya tidak akan baik."

"Tapi...kata Hilwa dan Mas Prima...keluarga Mas Sahil itu...ehm...Mamanya dan saudara-saudara perempuan Mas Sahil itu syari bajunya," celetuk Atiqah.

"Bapak, Ibu, berhijab itu kewajiban. Jangan berhijab hanya karena sungkan sama Mama. Sungkan itu pada Allah. Bukan Mama," sahut Sahil kalem.

Ucapan Sahil membuat ketiganya terdiam.

"Bapak dan Ibu tidak usah khawatir saya tersinggung atas yang terjadi di pertemuan terakhir kita," sambung Sahil. "Hanya saja...saya lebih suka direstui karena diri saya sendiri. Bukan pangkat dan jabatan saya. Kalau Bapak merestui saya karena pekerjaan saya, resikonya berat untuk Hilwa karena dia yang akan menjalaninya. Bapak juga sadar itu kan?"

Tamam mengangguk pelan. "Ya, saya memang salah tentang itu. Tapi sekarang saya mantap untuk merestui Mas Sahil karena yakin bisa membimbing Hilwa menjadi lebih baik."

"Kalau Hilwa memang siap menjadi pendampingnya Mas Sahil, Ibu juga setuju," sambung Atiqah.

Dan kini semuanya memandang Hilwana.

"Bismillah...Insya Allah, siap. Aku mau." Hilwana mengangguk setelah diam sejenak dan menghela napas dalam.

"Alhamdulillah," ucap Sahil. "Tapi...apakah urusannya dengan Kapten Prima sekeluarga sudah selesai sepenuhnya? Saya tidak ingin menimbulkan masalah setelah ini."

Tamam tersenyum menenangkan. "Alhamdulillah tidak akan ada masalah. Papanya Mas Prima memang menyesalkan hal ini tapi mau mengerti, sedang Mamanya memang ternyata sudah pesimis sejak Hilwa memutuskan mengabdi di pulau."

Sahil mengangguk. "Baik, nanti saya diskusikan dengan Mama dan Papa. Walaupun saya sendiri berharap besok bisa langsung melamar. Akhir minggu ini saya sudah harus kembali."

"Insya Allah kami siap kapanpun," kata Atiqah.

Karena hari sudah malam, Sahil pun pamit pulang setelah membicarakan beberapa hal lagi.

Di rumah ternyata Frannie dan Rashad sudah menunggu di ruang tengah.

"Gimana, Dek?" tanya Rashad ketika Sahil sudah duduk di sebelahnya.

"Alhamdulillah lancar," jawab Sahil tenang.

"Alhamdulillah," ucap Frannie dan Rashad serempak.

"Terus, Mama sama Papa ke sana kapan?"

ISLANDWhere stories live. Discover now