☆7

8.9K 945 122
                                    

Usai salat isya', Ragil dan yang lain termasuk Pak Kades Abu dan Hilwana melanjutkan obrolan. Istri Pak Kades memilih istrirahat karena capek.

"Bagaimana pendidikan di sini?" tanya Ragil.

"Alhamdulillah baik," jawab Hilwana. "Saya tidak bilang mereka anak-anak luar biasa pintar tapi tidak bodoh juga. Seperti yang saya bilang, anak-anak di sini itu anak-anak yang antusias dan semangat belajarnya tinggi. Hanya saja kami kekurangan tenaga pendidik."

"Apa anda guru PNS?"

Hilwana menggeleng. "Bukan. Saya pengajar dari Yayasan Cinta Anak Bangsa yang memang selalu mengirim guru-guru ke seluruh pelosok tanah air bagi siapapun yang bersedia tanpa pandang suku, ras, agama bahkan usia. Penduduk setempat juga boleh bergabung. Asal dia memang guru."

"Jadi...kalau ngomongin gaji..."

Hilwana tersenyum. "Yayasan memberi tiket gratis pulang pergi saat lebaran bagi yang muslim, natal bagi yang nasrani, waisak bagi yang budha dan lainnya. Tapi gaji kami sedikit. Sangat sedikit. Kadang-kadang juga dua bulan sekali baru gajian. Jaminan kami hanya akomodasi dan makanan. Sekarang ada BPJS kelas tiga."

"Anda yang dari tempat serba diberi kemudahan, memilih ke tempat ini?" tanya Ragil hati-hati.

"Apalagi saya cantik?" tambah Hilwana apa adanya. Bukan sombong atau narsis. Tapi tak urung membuat yang lain tertawa. Tawa lepas pertama mereka di tengah duka.

Ragil menaikkan kedua alisnya, menahan diri agar tidak tersenyum. Ia salut atas kepercayaan diri perempuan di sebelahnya itu.

"Saya tahu kok kalau diberi kelebihan fisik. Saya kan pernah menang Raki Jawa Timur saat kuliah dulu," jelas Hilwana terus terang. "Tapi orang cantik boleh dong mengajar bahkan di pulau cantik yang jauh ini? Kalau dokter saja memilih jadi tentara daripada hanya sebagai seorang dokter, kenapa saya tidak?" Ia menggigit bibir bawahnya saat akan menambahi kata ganteng.

Ragil manggut-manggut. "No offense...hanya jarang kan?"

Hilwana menggeleng. "It's okay. As I said, it's a long story. But I'm happy here. Saya suka mengajar di sini. Damai. Nyaman. Indah..."

"Sebelum Bu Hilwa datang, kondisinya bagaimana, Pak?" Ragil menoleh pada Abu di sisinya yang lain.

"Dua tahun sebelum Bu Hilwa datang, memang ada guru PNS lalu dia minta dimutasi setelah merasa masa mengajarnya di sini selesai atau sesuatu seperti itu. Kembali ke kota asalnya atau mana. Dan sampai akhirnya ada yayasan yang mengajukan kerja sama lalu mengirim Bu Hilwa sebagai guru pertama yang dikirim ke sini." Tiba-tiba Abu terkekeh. "Awalnya saya juga sanksi melihat Bu Hilwa. Perempuan seperti itu kok maunya tinggal di tempat jauh dari mana-mana tanpa listrik pula. Ternyata dia perempuan tangguh yang melebihi ekspektasi kami. Kecuali satu. Bu Hilwa takut tidur dalam gelap. Tidak takut gelap tapi takut tidur dalam gelap."

Ragil spontan menoleh pada Hilwana yang wajahnya memerah. "Jadi itu yang membuat anda tidak bisa tidur kemarin? Seharusnya bilang saja walaupun kami tidak bisa berbuat banyak. Apa malam ini tidak bisa tidur lagi?" Lalu menoleh ke Abu lagi. "Selama ini bagaimana?"

"Tidurnya? Pakai strongking. Saya khawatir kalau malam ini tidak bisa tidur, kasihan nanti. Kondisinya begini..." Abu sungguh tampak cemas.

Ragil mengangguk. Dalam kondisi di tengah bencana, wajar bagi seseorang sulit tidur. Sedang Hilwana? Pasti siksaan kalau gelap begini.

"Pak Abu ah..." rajuk Hilwana malu.

🌴🌴🌴

Benar saja, orang-orang tadi berusaha mengistirahatkan diri di tempat tak nyaman, walaupun ada beberapa yang begadang, Hilwana tampak gelisah. Ia keluar masuk dari tempat berteduh perempuan.

ISLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang