☆21

17.1K 919 77
                                    

Tak ada yang istimewah dengan pernikahan Sahil dan Hilwana. Sama saja. Sahil tetap sibuk dengan pekerjaannya sebagai abdi negara dan dokter juga seorang suami sekaligus ayah dan Hilwana sibuk menjadi Ibu Persit sekaligus istri dan ibu bagi putranya. Mulus bak pantat bayi? Tidak. Ada riak-riak kecil tentu. Tapi kapal mereka sanggup bertahan.

Dan kini tanpa terasa baby Anzar sudah satu tahun. Tak ada nikmat yang patut Sahil dan Hilwana syukuri lagi selain apa yang mereka punya. Baby Anzar aktif dan sehat. Dan baru saja merayakan ulang tahun pertamanya.

Kini birthday boy sudah berlayar ke laut mimpi di baby boxnya. Memberikan sedikit waktu orang tuanya untuk istirahat sejenak.

"Aku nggak nyangka..rasanya masih mimpi..." kata Hilwana sambil bersandar di bahu Sahil.

"Cubit nih," ancam Sahil.

"Kayak yang berani aja," cibir Hilwana.

Sahil terkekeh dan mencium puncak kepala istrinya yang harum shampo mint. "Terus?"

"Kok bisa aku nikah sama Mas?"

"Menyesal?" ejek Sahil. "Auw!" Ia mendapat hadiah cubitan di lengan.

"Pesonamu yang apa sih yang bikin aku khilaf?" gumam Hilwana.

"Kan aku ganteng. Cowok metroseksual katamu."

"Dih...gini di rumah narsis. Padahal kalau di luar risih minta ampun."

"Kan aku menjaga pandangan dan hatiku hanya untukmu."

Hilwana mengangguk. "Jadi, dokter Sahil nggak usah narsis juga di rumah."

"Oh ya, ada hal yang dari dulu mau aku tanya lupa terus tapi terngiang nggak bisa hilang." Tiba-tiba Sahil terdengar serius.

Hilwana mendongak. "Apa? Ih...Mas Sahil ganteng ya?"

"Hah?"

Hilwana menggeleng. Ia merasa heran sekaligus takjub karena selalu dibuat jatuh cinta lagi dan lagi pada suaminya. Ia tak pernah berhenti berdebar saat melihat wajah dan cara suaminya memperlakukannya bak benda pusaka.

Sahil menghela nafas sejenak, heran tiba-tiba istrinya begitu. "Tu parle Français? (Kamu bisa bahasa Perancis)"

"Hah?" ganti Hilwana yang berseru kaget.

Sahil mengernyit. "Kamu nggak bisa ya bahasa Perancis?"

Hilwana berdecak. "Suka ngeledek deh mentang-mentang Bapak bisa."

"Dulu, kamu pernah menyahutiku pakai bahasa Perancis."

Hilwana terdiam sambil mengingat-ingat. "Oh itu." Ia manggut-manggut. "Aku bisa mengenali bahasa asing tapi nggak bisa bahasanya. Ya paling yang gampang saja sih kayak Merci, Non, Oui...gitu-gitu. Jadi habis lihat Mas Sahil ngomong Perancis kebawa deh. Dikirain bisa ya?"

"Iya." Jujur Sahil. "Tapi kok meragukan hehehe..."

"Mas..."

"Hem?"

"Mas Sahil sama aku kok nggak pernah manja ya? Malah aku yang dimanjain." Hilwana diam sejenak. "Tapi kalau ada Mas Rahil, Papa Rashad dan Mama Frannie, pasti langsung manja. Otomatis berubah."

Sahil terkekeh. Ia mengusap kepala istrinya. "Karena aku senang manjain kamu."

"Tapi kesannya Mas Sahil nggak mau menunjukkan sisi lemah dan manisnya ke aku. Seperti nggak percaya sama aku." Kata Hilwana sambil cemberut.

Sahil tersenyum sambil mengangkat tangan Hilwana yang tersemat cincin pernikahan mereka lalu mengecupnya. "Kamu segalanya. Kamu tempatku pulang. Kamu istriku bukan saudara atau orang tuaku. Manjaku ke kamu beda. Lagipula sikapku yang begitu juga bukan kesengajaan setiap bertemu mereka. Itu semua sudah otomatis. Tapi seiring berjalannya waktu mungkin akan berubah bahkan hilang," jelasnya.

ISLANDWhere stories live. Discover now