✏Sahil's Note✏

8.1K 536 40
                                    

Assalamu'alaikum Wr. Wb...

Apa kabar semua? Sehat? Alhamdulillah. Tidak sehat? Syafakumullah.

Sebelum melanjutkan ceritaku, aku Letda Sahil R. S. D. Aditya mau ngobrol sedikit dengan kalian, boweh? Eh...kok jadi niru Bianca ya hehehe...

Aku tau kalian lagi nungguin bab selanjutnya. Sabar ya...lagi persiapan pernikahan dan aku luar biasa gugup.

Uhmm...begini...yang mau aku bicarakan tuh nggak jauh-jauh dari jodoh dan pernikahan. Kalian pasti tau setiap cerita dikemas dengan indah. Begitupun aku. Bagi kalian yang sudah mengikuti perjalanan pertemuan dan pernikahan keluarga besarku pasti tau bahwa nggak ada diantara kami yang pacaran. Taaruf? Anggaplah begitu. Walaupun enggak juga sih sebetulnya. Tapi yang paling salut dan menunjukkan kesetiaan cinta tuh kisahnya Mami Kartika dan Papi Rashid. Mereka sudah saling suka sejak SMP, terpisah jarak dan waktu, nggak ada kata I Love You tapi begitu ketemu lagi setelah bertahun-tahun langsung menikah, yang itu pun menyeret Papa untuk menikah juga dengan Mama. Namanya jodoh nggak kemana ya...hehehe...

Dan karena kalian sudah mengikuti perjalanan kisah keluargaku, pasti kalian tau nasehat yang dikasih Mama dan Papa kan? Berdoalah di sepertiga malam terakhir. Iyup. Sesungguhnya Allah Maha Menepati Janji.

Tapi dengan catatan: JANGAN menikung pacar, tunangan apalagi suami/istri orang. Selain membuat sedih orang tersebut juga kalian sudah melakukan pencurian. Bisakah kalian hidup tenang dari hasil mencuri?

Berdoa mencari jodoh pun harus lihat kondisi. Berdoalah yang baik.

Oke, kembali ke aku...bagaimana aku akhirnya bisa bersama Hilwana sang guru bidadari hehehe...

Karena pekerjaanku, author hanya sanggup menceritakan tentangku pendek saja. Mbak Ai panjang? Hehehe...itu sih kebablasan...melebihi target bab yang harus author tulis. Nah, karena ceritaku pendek jadi semua serba dipercepat.

Normalnya aku sendiri tidak akan mengajukan lamaran dalam hitungan hari. Itu sungguh gila! Betul kata Hilwana, kami berdua bahkan tidak saling mengenal dengan baik. Tapi aku harus memutuskan segala sesuatunya dengan cepat dan daripada menyesal belakangan...eh sedikit menyesal sih karena ternyata Hilwana sudah mau dijodohkan dengan Kapten Inf. Prima. Untungnya ya belum dilamar resmi...kan nggak boleh melamar orang yang sudah dilamar.

Kemudian, karena Hilwana harus pulang dulu sementara aku masih harus tinggal di pulau, aku sengaja mempertemukan Hilwana dengan keluargaku terutama belahan jiwaku, Mas Rahil, untuk mewakiliku mengenal Hilwana lebih baik lagi. Apakah dia betul-betul layak menjadi pendampingku atau enggak. Yang nggak aku perhitungkan ternyata keraguan Hilwana akan masa depan kami begitu besar. Dia nggak menceritakan tentang aku secara pribadi pada keluarganya.

Ya, di satu sisi aku paham. Tidak mudah memutuskan menikah secepat itu dengan orang asing. Apalagi Hilwana seperti kebanyakan orang yang melalui proses pacaran dulu sebelum menikah, sementara aku enggak.

Dan lagi sekalinya ketemu orang tua Hilwana langsung ditolak pula dengan alasan Hilwana mau dijodohkan dengan orang lain...Hhh! Diperparah ada panggilan tugas mendadak. Hilang sudah kesempatanku. Mungkin jodohku dengan Hilwana sampai situ saja.

Aku hanya bisa pasrah kepada Allah Sang Pemilik seluruh alam semesta ini. Aku harus fokus pada pekerjaanku.

Dan begitu aku kembali dari tugas, ternyata kenyataannya berbicara lain. Hilwana menungguku. Atas izin Allah tentu.

Jeda satu tahun ternyata banyak yang terjadi. Sebelum Hilwana kembali, ternyata dia sempat mempertemukan orang tua kami setelah Papanya, Bapak Tamam, ngobrol banyak dengan Kapten Prima. Tentangku.

Tentu aku selipkan nama Hilwana dalam setiap doaku tapi selebihnya aku betul-betul pasrah. Pasrah pada Allah dan pasrah pada orang tua kami. Karena aku nggak ada di tempat untuk bisa mengenal Hilwana dengan sebaik-baiknya. Taarufkah? Dijodohkankah? Aku nggak tau harus menyebut apa hubungan kami.

Apakah prosesnya mudah? Bahkan Mama dan Papa langsung setuju? Tentu tidak. Walaupun Mama dan Papa menyambut Hilwana dengan tangan terbuka karena memang begitulah orang tuaku. Ramah dan baik pada siapa saja.

Orang tuaku membicarakan banyak hal dengan detail tentangku juga tentang Hilwana sendiri agar nggak salah pilih atau agar nggak seperti memilih kucing dalam karung. Apalagi secara fisik Hilwana memang cantik luar biasa. Rejekiku hehehe...

Proses yang dilakukan orang tuaku mirip seperti taaruf. Dimana mereka membicarakan semuanya dengan detail dan teliti saat merestui pasangan untuk anak-anaknya karena menikah bukan sekedar duniawi saja tapi diharapkan juga jodoh sampai jannah. Semua yang baik dan buruk dibicarakan dengan terbuka agar calon pasangan kami mengerti seperti apa nantinya, menghindari penyesalan mendalam karena terlalu terkejut dengan hal yang biasanya disembunyikan saat pacaran.

Jadi begitulah. Terbuka dan jujur di depan serta No Pacaran demi menghindari rasa kecewa dan sakit hati mendalam saat menemukan ketidakcocokan.

Ya...sementara itu saja...

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

dr. Sahil Aditya

ISLANDWhere stories live. Discover now