☆13

8.6K 887 132
                                    

Sepertinya di bab 12, aku bikin heboh ya? Seperti yang kalian tau, Sahil itu Kopassus, sedangkan Prima itu Infanteri. Jadi ya kawan-kawan, mereka berdua beda kesatuan.

Sahil memberi hormat pada Prima semata-mata karena tau Prima pangkatnya lebih tinggi darinya. Bukan karena senior di tempat dinas yang sama. Maaf kalau aku menggunakan kata 'Atasan' karena aku nggak tau sebutannya. Seniorkah? Komandankah? Jadi kalau kalian ada yang tau sebutan mereka, kasih tau ya? Yah, itu aja.

🌴🌳🌴

Rahil dan Mia sama-sama terkejut dengan perkataan Sahil untuk alasan yang berbeda.

"Kok pelakor sih?" ujar Mia dengan kening berkerut. "Bukannya Dek Sahil tuh suka ya sama Mbak Hilwa? Kok sekarang suka sama cowok ih?"

"Hah?!" seru si kembar serempak.

Mia mengangguk. "Pelakor kan perebut laki orang. Ngapain coba Dek Sahil ngerebut cowok orang, hayooo?"

Mendengar hal itu, si kembar masih melongo.

"Mbak Mia, itu...aku bukan..."

"Masih normal kan ya?" cerocos Mia.

Spontan Rahil menyentil dahi istrinya. "Mulutnya!"

"Sakit! Iiih...Mas Rahil..." Mia mengusap keningnya dengan tangan dan bibir mengerucut.

Sahil menghela nafas dalam. "Normal dong. Ngapain ih ngerebut cowok?"

"Lha terus?...Oh...maksudnya pebinor eh pecabinor ya? Perebut bini orang atau perebut calon bini orang?" ujar Mia.

"Ya kan nggak tau ih. Lagian bahasa apaan sih itu," gerutu Sahil.

"Bahasa Indonesia dong. Slang. Terus...terus kok ngerasa gitu? Kakak cantik udah ada yang punya gitu?" Mia mengabaikan gerutuan Sahil.


"Saya betul-betul mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sahil yang sudah menyelamatkan Hilwana. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai kehilangan dia," ucap Tamam tulus dan ramah. "Selama lima tahun terakhir, kami baru bisa bertemu kalau saya yang mendatangi dia karena gajinya yang kecil. Komunikasi juga susah. Bapak bisa membayangkannya kan?"

Sahil mengangguk. "Itu sudah tugas saya." Ia mengangguk. "Dan tolong panggil Sahil saja."

Tamam manggut-manggut. "Jadi...Mas Sahil ini Letda ya? Dinas di mana?"

"Cijantung, Pak," jawab Sahil kalem.

"Oh. Jauh ya...eh tapi tentara ya, siap ditugaskan di mana saja kapan saja." Tamam terkekeh sendiri. "Kesatuannya apa?"

Mendadak suasana terasa tegang. Terutama Prima.

"Saya di grup tiga." Sahil masih tidak mengatakan yang sebenarnya. Tapi kalau logikanya tajam, orang yang mengenal dunia militer walaupun sedikit pasti merasa heran karena ia menyebut grup. Bukan kompi apalagi batalyon. Hanya satu tempat yang menggunakan istilah grup.

"Hmm..." Tamam manggut-manggut lagi entah mengerti, entah bingung. Lalu berdeham. "Mas Sahil ini saya yakin pasti mengerti bahwa setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya."

Sahil mengangguk. Sudut matanya bisa melihat Hilwana yang berwajah masam dan Prima yang meringis tipis bukan karena gembira tapi tegang.

"Mas Sahil masih muda. Bagus perwira. Tapi saya dan Papanya Mas Prima sudah lama ingin besanan. Ditambah lagi...walaupun masih muda juga Mas Prima sudah Kapten. Bukan saya merendahkan Mas Sahil. Tapi dari segala sudut, Mas Prima sudah lebih matang dan mapan."

ISLANDWhere stories live. Discover now