16. insiden di minimarket

2.2K 262 954
                                    

Ini kali kedua Daniel menyakiti Feira--setahu Kaivan. Dan selama itu pula, kebencian yang dirasakan Kaivan terhadap Daniel kian membesar seiring bergulirnya waktu. Bagaimana tidak, lantaran lagi-lagi pemuda itu dengan mudahnya menyakiti Feira. Padahal jelas-jelas ketika Daniel mengunjungi rumahnya terakhir kali, pemuda itu bahkan sudah berjanji padanya tidak akan mengecewakan Feira lagi. Dasar, omongannya benar-benar tidak dapat dipegang sama sekali. Awas saja jika Daniel kembali mendekati Feira dan berani menampakkan diri di depan Kaivan, pemuda tersebut tentu saja tidak akan tinggal diam.

Jika Kaivan tidak salah mengingat, rasanya sudah hampir tujuh jam Feira tidak keluar dari kamarnya. Dia terus mengurung diri di dalam sana. Bahkan tidak makan, tidak minum, saat ditanya tidak menjawab, selebihnya hanya suara isak tangis saja yang terdengar. Tentu saja Kaivan merasa sangat khawatir, merasa was-was jika Feira akan melakukan hal aneh di sana. Tapi, tidak. Kakaknya tidak segila itu. Jadi, lupakan. Ingin sekali rasanya ia mencoba mendobrak pintu kamar yang berada di hadapannya hingga terbuka, tetapi tak sampai hati lantaran dirinya tidak memiliki uang untuk memperbaiki.

Jadi, sekali lagi, yang dapat Kaivan lakukan di sana hanyalah kembali membujuk Feira, kendati pun dia tahu peluang yang dimilikinya hanya nol persen. "Kak, udahlah. Gak ada gunanya tahu nangisin si kudanil. Cowok Korea Kakak 'kan masih banyak, dia bahkan gak sebanding sama mereka."

Jujur saja, ini kali pertama Kaivan mendukung Feira untuk menyukai pria Korea. Karena sebelumnya, dia benar-benar tak menyukai dan merasa risi acapkali melihat Feira membeli album, poster, light stick, photo card dan hal lainnya yang berhubungan dengan K-pop. Namun, kali ini situasinya berbeda, Kaivan sedang mencoba menghiburnya, tetapi lagi-lagi sangat disayangkan tidak berhasil. Feira tetap tidak memberikan tanggapan sedikit pun.

Kaivan mendesah pelan. Baiklah, jika dengan sebuah bujukan tidak menjumpai titik hasil, maka Kaivan akan mencoba meneror Feira dengan ancaman. "Kak, Kalau Kakak gini terus, bakal gue aduin ke Ibu. Bilang kalau Kakak gak mau makan dan ngurung diri di kamar cuma gara-gara patah hati sama cowok. Mau gue aduin begitu, sampai mereka beneran pulang ke sini?"

Di dalam sana, Feira lagi-lagi tidak merespon apa pun. Namun, Kaivan tetap setia menunggu. Sampai ketika beberapa menit kemudian, Feira akhirnya membuka pintu kamarnya dengan perlahan, faktualnya usaha Kaivan kali ini membuahkan hasil. Pemuda itu tersenyum senang menatap Feira yang kini berdiri di ambang pintu. Penampilan sang kakak tampak begitu berantakan; kedua matanya membengkak, wajahnya tertentang menekuk kesal. Bahkan, saat balik menatap Kaivan pun, ekspresinya benar-benar tak bersahabat. Sampai nada suaranya terdengar marah saat berujar, "Jangan diaduin ke Ibu."

Kaivan tersenyum miring, lantaran dia sekarang tahu kelemahan sang kakak. "Ya makanya, jangan ngurung diri terus sampai lupa segalanya. Kakak tahu gak sih, kalau ngegalau gini tuh gak keren, malah jadinya kayak gembel."

Feira merotasikan kedua bola matanya jengkel. "Gak lucu."

"Lah, emangnya siapa yang ngelawak? Gue barusan ngomongin fakta." Katanya dengan serius. "Daripada Kakak ngegalauin si kudaniel gak ngehasilin duit sama sekali, mendingan kita pergi belanja bulanan aja. Stok di kulkas habis, terus udah itu kita langsung mas--"

"Gak ah, males." Potong Feira cepat sembari mengambil ancang-ancang akan menutup kembali pintu kamarnya.

Namun dengan sigap, Kaivan segera menahannya sekuat tenaga dengan menggunakan sebelah kakinya. Dia serta-merta mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana untuk ditunjukkan kepada Feira sebagai bentuk sebuah ancaman. "Lo bener-bener mau gue aduin ke Ibu, Kak?"

Feira mengerang frustrasi. Pokoknya, jangan sampai hal itu terjadi. Dia sungguh tidak ingin dimarahi habis-habisan oleh sang ibu jika ketahuan melakukan hal bodoh seperti tadi. Sepertinya tidak ada opsi lain selain mengalah dari Kaivan dan kembali keluar kamar. "Tapi, mata Ira lagi sembab, Kai. Malu."

Profitable LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang