10

1.6K 260 83
                                    


YUJIN POV

Mata hitam bulat itu balas menatapku dari balik kaca etalase. Mata hitam yang bulat dan berkilauan, seolah memanggilku. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Sudah hampir tiga puluh menit aku berdiri di sini dan sepasang mata hitam itu masih menatapku. Aku tidak bisa pulang begitu saja dan meninggalkannya di sana. Aku harus melakukan sesuatu...

Aku memejamkan mataku sesaat, mencoba untuk berpikir jernih, tapi saat aku kembali membuka mataku sepasang mata itu masih menatapku. Aku tahu, tidak ada gunanya melawan. Pada akhirnya aku akan kalah. Sepasang mata itu seperti memiliki kekuatan magis yang tidak bisa kulawan. Aku menghela napas yang entah sejak kapan kutahan. Aku menghitung sampai sepuluh dalam hati dan ketika sampai hitungan kesepuluh aku belum juga berubah pikiran, akhirnya aku melangkahkan kakiku memasuki toko itu.
Baiklah, Minjoo akan marah padaku kali ini tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku kalah dengan tatapan mata itu.


***



Saat aku sampai di rumah malam itu, seperti yang sudah aku duga, Minjoo marah besar. Ia tidak terlihat senang melihat apa yang kubawa pulang bersamaku. Dahinya berkerut dan kedua tangannya berkacak pinggang. Perutnya yang sudah semakin membesar memasuki bulan ketujuh membuatnya tampak tidak terlalu menyeramkan tapi itu tidak berarti aku kehilangan rasa takutku. Aku tahu apa yang bisa Minjoo lakukan saat marah. Terakhir kali ia melemparkan sebuah cangkir ke arahku hanya karena aku lupa menutup pintu lemari es sehabis mengambil bir kalengku.

Aku sudah siap menghadapi kemarahan Minjoo, aku tahu bahwa aku hanya perlu bersabar dan tidak membalas kata-katanya. Di usia kandungannya yg memasuki bulan ketujuh, Minjoo semakin sering merasakan kram dan itu, ditambah dengan hormonnya, membuatnya mudah merasa kesal. Saat menemaninya melakukan check up rutin minggu lalu dokter yang biasa memeriksa kandungannya telah memperingatkanku untuk lebih banyak bersabar dan memberi perhatian lebih pada Minjoo. Tentu saja lebih mudah bicara dibanding melakukan. Saat ini Minjoo tengah menatapku dengan tatapan mata penuh kekesalan.

"Ahn Yujin! Lagi-lagi?!"

Aku hanya bisa tertawa kecil serba salah sambil menggaruk bagian belakang kepalaku. Boneka beruang besar dengan mata bulat berwarna hitam kini terduduk di sofa ruang keluarga kami seolah menonton pertengkaranku dengan Minjoo.

"Aku lewat di depan toko mainan saat pulang tadi," kataku jujur,

"Aku merasa boneka beruang itu seperti memanggilku untuk..."

"Jangan bercanda !"

Aku menutup mulutku seketika saat Minjoo memotong kata-kataku. Dengan kesal ia menunjuk ke sudut ruangan tempat begitu banyak mainan dan pernak-pernik bayi tergeletak, hampir semua dari benda-benda adalah benda yang kubeli tanpa pikir panjang,

"Mau beli berapa banyak lagi? Kita bahkan tidak tahu harus meletakkan tempat tidur bayi dimana! Lagi pula kita masih belum tahu jenis kelamin bayinya kan?"

Aku menghela napas, "Mungkin sudah saatnya kau pindah ke kamarku, kita bisa mengubah kamarmu untuk dijadikan kamar bayi."

Aku baru sadar tentang apa yang kukatakan saat melihat wajah Minjoo yang memerah. Bibirnya setengah terbuka dan ia kehilangan kata-kata. Aku sendiri terkejut dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku meminta Minjoo untuk pindah ke kamarku? Setelah terdiam selama nyaris semenit, dengan wajah merah padam Minjoo berbalik dan meninggalkanku.

"Bodoh! Aku tidak mau tahu pokoknya hentikan kebiasaanmu membeli yang tidak perlu!" katanya sambil buru-buru meninggalkanku menuju kamarnya.

Aku mengerjapkan mataku setelah Minjoo menutup pintu kamarnya.

MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang