14

2.1K 257 43
                                    


YUJIN POV

Kalau ada yang mengatakan laki-laki adalah mahluk yang beruntung karena tidak perlu melewati proses melahirkan, sebaiknya pikirkan lagi pendapat tersebut. Karena memang, walaupun laki-laki tidak tahu bagaimana rasanya mengandung selama sembilan bulan dan melewati sakitnya proses melahirkan, bukan berarti para laki-laki bisa benar-benar bersenang-senang saat istrinya mengalami proses tersebut.

Pikirkan, selama Minjoo hamil, aku harus melakukan banyak hal untuk menjaga emosinya yang siap meledak kapan saja. Aku harus bangun tengah malam dan pergi keluar mencari acar lobak karena ia tiba-tiba menginginkannya dan saat aku kembali dengan acarnya, ia sudah tidur dan tidak ingin makan acar lagi. Aku juga harus menghadapi semua perubahan perasaannya yang terjadi begitu cepat. Kadang-kadang ia akan memasang wajah seperti akan menangis hanya karena satu kata yang kuucapkan. Aku, tentu saja, membiarkannya melampiaskan kekesalannya padakudan mencoba untuk bersabar menghadapinya.

Seperti saat ia tiba-tiba mengamuk hanya karena aku menjawab pertanyaannya.

"Aku terlihat lebih besar," gumamnya saat itu sambil memandang dirinya di cermin, aku yang sedang duduk membaca koran mengangkat wajahku untuk melihat dirinya tanpa mengatakan apapun. Di mataku ia terlihat normal,

"Apa aku terlihat besar?"

Aku mengangkat kedua bahuku dengan bingung, seorang wanita hamil terlihat lebih besar itu wajar kan? Tidak ada yang salah dengan terlihat besar saat hamil.

"Kau kan sedang hamil..."

"Apa aku terlihat besar?" Ulangnya bersikeras sekali lagi. Kedua tangannya berkacak pinggang dan matanya menatapku kesal.

Aku meletakan koranku di meja, "wanita hamil kan memang besar..."

Rupanya jawabanku itu adalah jawaban yang salah. Wahai saudara-saudaraku di luar sana, demi keselamatan anda sendiri, ingat hal ini, jangan pernah mengatakan pada wanita hamil bahwa mereka tampak besar. Kalian akan berterima kasih padaku suatu saat nanti kalau mengingat pesanku ini.

"Kau mengatakan bahwa aku gemuk?!" Jerit Minjoo mulai berurai air mata.

Percaya padaku kalau sudah seperti itu, bukan pekerjaan yang mudah untuk membuat istriku merasa lebih baik. Bahkan minta maaf pun tidak akan menyelesaikan masalah. Dan ini tidak terjadi sekali dua kali namun hampir setiap hari. Aku harus berpikir dua kali atau lebih sebelum menjawab pertanyaannya namun ketika aku berpikir terlalu lama ia akan menyimpulkan sendiri dan mulai histeris.

Kalau ada yang bertanya padaku bagaimana aku bisa bertahan selama sembilan bulan dan cukup sabar untuk menghadapi Minjoo yang penuh hormon estrogen, aku sendiri tidak tahu. Kadang-kadang aku merasa sangat marah. Ada saat-saat dimana Minjoo, entah sengaja atau tidak, melemparkan kata-kata yang menyakitkan untuk didengar dan aku mati-matian menahan diri untuk tidak berteriak membentaknya atau membalas kata-katanya. Percayalah itu tidak mudah. Butuh setiap ons kesabaran yang ada di di dalam diriku untuk menahan diri agar tidak menimbulkan pertengkaran yang tidak perlu.

Biasanya di saat seperti itu aku akan mengingatkan diriku bahwa Minjoo tidak benar-benar berniat menyakiti perasaanku. Bahwa saat itu, hormonnyalah yang bicara padaku. Aku akan menghitung sampai seratus dalam hati untuk menahan diri. Aku berkali-kali mengingatkan diriku bahwa keadaan Minjoo saat ini, separuhnya adalah salahku juga.

Di malam hari, saat ia tertidur, kadang-kadang aku akan memandangi wajahnya. Ada hari-hari dimana aku kehilangan kesabaranku dan kami akan bertengkar. Tentu saja semua akan berakhir dengan aku meminta maaf dan mengalah. Tapi aku tidak keberatan untuk mengalah dan meminta maaf meskipun pada banyak kasus, aku tidak bersalah sama sekali. Saat menghadapi seorang wanita, seorang pria tetap harus meminta maaf untuk menyelesaikan masalah, tidak peduli siapa pun yang salah.

Malam-malam seperti itu, setelah sebelumnya kami bertengkar dan berbaikan, akan kuhabiskan untuk menatap wajah tidurnya. Melakukan hal seperti ini, anehnya, membuatku merasa lebih baik. Saat aku menatap wajah tidurnya aku seperti menerima lebih banyak lagi stok sabar di dalam diriku. Aku tidak akan pernah bosan memandangi wajahnya yang tengah tertidur. Aku tidak akan bisa memandanginya seperti ini di saat ia terbangun. Minjoo akan merasa tersinggung kalau aku memandanginya seperti ini.

Sejak kecil, aku memiliki kelemahan saat menghadapi Minjoo. Aku akan dibuat kesal dan marah olehnya, kami akan bertengkar dan berdebat, tidak jarang ia akan memukulku saat ia marah, tapi tidak peduli bagaimana pun pertengkaran kami, pada akhirnya selalu aku yang mengalah padanya.

Minjoo adalah seorang putri yang cantik dan memiliki segalanya. Ia terbiasa dimanja dan mendapatkan apapun yang diinginkannya. Dan aku harus mengakui bahwa aku adalah salah satu orang yang terlalu memanjakannya. Sejak dulu sulit untuk menolak permintaannya. Meskipun sulit, demi temanku itu aku akan melakukan apapun.
Dulu kami sangat dekat. Sejak TK kami selalu bersama-sama. Tapi saat kami SMP semua mulai berubah dan perlahan kami mulai menjauh.
Aku masih ingat jelas alasan mengapa kami menjauh. Minjoo mungkin sudah tidak ingat akan apa yang terjadi hari itu tapi aku tidak akan pernah lupa.

Hari itu adalah pertama kalinya aku merasa amat marah, dan kecewa pada temanku itu.

Seperti biasanya hari itu aku dan Minjoo pulang sekolah bersama. Meskipun kami berbeda kelas aku dan Minjoo masih tetap berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Pagi hari aku akan menjemputnya ke rumahnya, atau saat aku kesiangan maka Minjoo akan datang ke tempatku dan menendangku untuk membangunkanku. Lalu sepulang sekolah, aku akan menjemputnya ke kelasnya dan kami akan pulang bersama. Rutinitas seperti ini berlangsung hampir selama satu semester sampai hari itu, ketika aku seperti biasa datang ke kelas Minjoo untuk menjemputnya, aku tidak sengaja mendengar percakapan Minjoo bersama beberapa orang temannya.

MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang