16

2K 257 57
                                    


YUJIN POV

"Maaf, lagi-lagi aku merepotkan Anda."

Aku menghela napas dan menggelengkan kepala sambil tersenyum tertahan. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tadinya aku telah memutuskan untuk tidak lagi bertemu dengan Wonyoung di luar sekolah, tapi suatu malam ia menelponku sambil menangis dan aku tidak memiliki pilihan lain selain menemuinya malam itu. Malam itu juga aku tahu bahwa ayah Wonyoung meninggalkan rumah untuk bersama wanita lain dan tidak kembali lagi. Malam itu aku harus membujuk Wonyoung untuk mengurungkan niatnya bunuh diri. Sejak itu aku selalu menemuinya beberapa kali dalam seminggu untuk menemaninya makan malam atau mengerjakan PR di saat ia tidak ada jadwal bimbingan belajar seusai jam sekolah.

Tentu saja kami melakukannya dengan hati-hati, kalau pihak sekolah sampai tahu, aku tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Kami berdua akan berada dalam masalah besar.

"Istri Anda tidak tahu kalau Ssaem menemuiku?"

Seperti bisa membaca apa yang ada di pikiranku, Wonyoung menghentikan gerakannya menyantap makan malamnya dan menatapku. Aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Aku tahu gadis berambut gelap itu tahu jawabannya.

"Anda bilang apa?"

Aku mengehela napas, sebenarnya ini bukan topik pembicaraan yang tepat untuk saat seperti ini. Membicarakan tentang Minjoo di saat seperti ini hanya membuatku merasa kalau Minjoo tengah mengawasiku dari kejauhan. Meskipun itu tidak mungkin tapi membayangkan hal seperti itu sudah cukup untuk membuatku merinding.

"Ssaem?"

Sepertinya untuk membuat gadis yang duduk di hadapanku ini berhenti bertanya, aku harus menjawab pertanyaannya. Tidak ada pilihan lain.

Aku menunjukkan kantong plastik yang sejak tadi kuletakan di sebelahku.

"Aku bilang aku akan keluar sebentar untuk membeli susu Yunjoo," kataku, tiba-tiba merasa semakin bersalah karena telah menggunakan anakku itu sebagai alasan, "karena itu aku tidak bisa lama-lama."

Wonyoung meletakkan garpunya, "anak ssaem namanya Yunjoo?"

Aku mengangguk dan tersenyum, pembicaraan mengenai anak pertamaku itu selalu bisa membuatku merasa lebih baik, "nama yang bagus kan?"

Wonyoung tersenyum samar sambil mengangguk mengiyakan, "aku ingin bertemu dengan anak ssaem kapan-kapan, boleh ?"

Aku hanya bisa tersenyum. Kami berdua sama-sama tahu, situasi saat ini sudah terlalu rumit tanpa ia harus bertemu dengan keluargaku. Aku tidak tahu apakah mempertemukan Minjoo dengan Wonyoung adalah ide yang baik. Tapi bagaimana pun aku tetap mengangguk, "ya, kapan-kapan aku akan mempertemukanmu dengan Yunjoo."

"Dengan istri Anda juga?"

Lagi-lagi aku terdiam.

Hubunganku dengan Wonyoung memang hanya hubungan antara guru dan murid, tidak lebih. Aku hanya menemui Wonyoung karena rasa tanggung jawabku sebagai seorang guru pada muridnya. Tidak lebih. Jadi seharusnya aku tidak perlu merasa takut untuk mempertemukan Wonyoung dan Minjoo. Lagi pula aku dan Wonyoung tidak berselingkuh. Tapi, entah mengapa, instingku mengatakan bahwa mempertemukan keduanya bukanlah ide yang baik.

"Wonyoung-ssi..."

"Panggil aku Wonyoung saja, Ssaem..." Pinta Wonyoung yang kutanggapi dengan kerutan di dahiku, ia menatapku dengan matanya yang sendu, "kumohon?"

Aku menghela napas, entah untuk keberapa kalinya malam ini, "baiklah, Wonyoung." Aku merasa sedikit canggung harus memanggilnya dengan nama depannya namun aku mencoba tidak menghiraukannya, "aku merahasiakan pertemuan kita dari istriku karena aku tidak ingin ia salah paham. Jadi aku tidak mungkin mempertemukannya denganmu..."

MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang