TUJUH : No Need To Choose, I'm Not the Choice

1K 114 2
                                    

"Sa, gila, kamu belajar nyetir dari mana? Kenapa nggak pernah kasih tahu aku kalau kamu sejago ini?"

Juan masih takjub. Asa benar-benar jago mengendalikan mobil.

"Asa suka aja denger Kak Juan remehin Asa. Soalnya Asa jadi tahu kalau Kak Juan bohong waktu bilang nggak punya orang spesial."

Mata Asa melirik Dina, perempuan itu hanya membisu di tempatnya.

"I'm so sorry..."

"No need to say sorry. Kak Juan emang payah soal perasaan. By the way, ini nggak seberapa. Soalnya terakhir kali Asa nyetir mobil waktu hampir mati. Asa janji sama hero Asa kalau Asa bakal panjang umur dan nemenin dia keliling dunia berdua. Sayangnya dia ingkar janji, dia pergi dulu. Hidup itu lucu kan, Kak?"

Maksud Asa, ini orang yang sama dengan yang Asa bilang tadi pagi? Asa memang tidak pernah menceritakan siapa orangnya. Asa hanya selalu bilang jika hidup Asa tidak pernah indah semenjak sesuatu pergi dari hidupnya.

"Terakhir kalinya kapan?"

"Mungkin tujuh atau delapan tahun lalu. Ini sebenarnya agak kaku tapi terpaksa karena Kak Juan jahat."

"Kaku aja sekeren ini, skill kamu ngalahin pembalap kayaknya."

"Ya emang dulu hobi Asa itu balapan."

Juan terdiam sesaat, ia segan untuk bertanya tetapi harus. "Boleh aku tahu siapa sosok yang kamu maksud, Sa?"

"Apakah itu penting buat Kak Juan? Asa udah bilang dia ingkar janji buat yang terakhir, padahal dia orang yang nggak pernah biarin Asa sendiri. Dia orang yang selalu berusaha kasih Asa kebahagiaan meskipun dia akan terluka."

"Aku mau tahu masa lalu kamu meski pun kamu bakal berpikir kalau aku kurang ajar. Kamu juga bebas nanya soal masa lalu aku."

Asa tersenyum kecil, "Sayangnya, Asa nggak tertarik sama masa lalu Kak Juan. Tapi Asa bakal bilang kok, orang itu Damian. Iya... Bang Damian, adik Kak Jaden."

"Damian?"

Asa mengangguk, ia menolehkan kepala dan berhadapan langsung dengan wajah Juan yang menjulur dari belakang.

"That's why Kak Jaden always protect me and be there everywhere I need, Kak. He's still my brother no matter will be."

Mobil Juan berhenti di depan rumah Asa. Asa mulai melepas seatbelt yang melingkari tubuhnya. "Asa udah sampai rumah. Makasih udah pinjemin mobil Kak Juan ke Asa."

Semua hal yang sekarang terjadi udah di titik tertinggi sabarnya Asa. Asa nggak mungkin nikah sama laki-laki yang nggak memprioritaskan Asa bahkan rela membuang uang buat orang di luar rumahnya. Asa tahu susahnya cari uang seperti apa? Dan rasanya Juan bukan orang yang tahu cara menghargai uang. Relasi dengan Dina lebih berharga dari uang.

"Kita anter Dina dulu. Abis itu kita ke Jogja."

"Oh nggak perlu." Asa tersenyum manis. Dia benar-benar sudah tenang berkat lagu yang ia dengarkan tadi. Musik adalah airnya Asa. Karena mendengarkan musik, Asa bisa merasakan kehadiran Damian lagi. "Asa udah nggak pengen, kalau pun Asa pengen, Asa nggak akan pergi sama Kak Juan. Asa mau bilang kalau Asa itu api, tapi Kak Juan selalu tuang bensin di hidup Asa. Asa butuh air buat memadamkan api Asa. Kesimpulannya, kita itu nggak cocok."

Juan dibuat bingung dengan kemauan Asa. Ia merasa bersalah, juga sungkan karena ada Dina di sini. Salahnya juga ia mengajak Dina.

"Kak, Asa pulang dulu ya. Makasih buat dua tahun ini. Asa cuma mau bilang kalau kenal Kak Juan, Asa sadar kalau Asa nggak akan pernah nemuin Damian lagi di tubuh orang lain. Karena Damian cuma ada satu. Kakak nggak perlu bilang kalau kita putusㅡ"

Utopia Vodca (re-write)Where stories live. Discover now