v. to reach you

12.2K 3.2K 1.3K
                                    



















"Lia."


Lia mengangkat wajah, menampilkan wajah chubby-nya yang membengkak karena menangis semalaman. Jemari memainkan tas sementara pipi dalam digigit, hal yang kerap dilakukan ketika Lia sedang menahan tangis.


"Masih gak mau ngomong sama mama kamu kenapa?"



Kepala gadis itu kemali menunduk, tak ingin menatap sang ibu. Hal itu lantas membuat yang lebih tua menghela nafas lebar.


"Mau mama izinin supaya gak ikut study tour hari ini?"


"Gak perlu."


Lia bangkit, hendak bersiap untuk berangkat. Namun gadis itu bergeming ketika merasakan mama menahan pergelangan tangannya.


"Sarapan dulu ya kalo gitu? Mama udah masak-"


"GAK MAU! LIA GAK MAU MAKAN, KENAPASIH MAMA SELALU NYURUH LIA MAKAN?"


Kedua kelopak mama membulat mendengar teriakan nyaring sang anak. Tubuhnya membeku saking terkejutnya, tak biasanya Lia seperti ini.



Suasana mendadak berubah mencengkam, sesaat hanya terdengar dentingan jam yang berdetak hingga dering telpon membawa mama kembali ke dalam alam sadar.






Mama segera beranjak menghampiri telepon yang terletak di atas nakas ruang keluarga. Ia terlihat berbincang, sesekali melirik ke arah sang anak.


"Lia, pas banget mama ada acara di gereja. Ayok sekalian mama antar-"


"Gak usah, Lia naik bus aja." ujar Lia final, kemudian segera berlari meninggalkan mama yang baru saja berniat mengambil langkah untuk mendekat.




























































Jujur saja sebetulnya hari ini Lia tidak ingin hadir dalam studi wisata, namun ini menyangkut nilai sejarah wajib yang akan tertara di rapot, tentu saja Lia tidak mau nilainya terpengaruh sedikitpun.






Untung saja bus Lia dan gerombolan Hyunjin berbeda, jadi sepanjang perjalanan gadis itu tak perlu menerima perlakuan aneh aneh dari setan setan kurang kerajaan itu.




Tentu saja gunjingan menyakitkan masih terdengar, mengucap bahwa tidak ingin satu bus dengan si monster raksasa. Beberapa diantara mereka mengomentari perihal wajah Lia yang tertutup masker dan kacamata.




Tak apa, Lia sudah biasa.




"Anak-anak, ayo berbaris."




Wali guru menginstruksikan anak-anak agar berbaris didepan pintu masuk. Lia baris di paling belakang, tak ingin menghalangi yang lain dan berakhir mendapat cemohan.




Ketika mulai memasuki kawasan wisata dalam hati Lia bergidik. Dia suka sekali arsitektur di sini, rumah-rumah dan taman-tamannya sangat elok.




Namun, Lia bertanya-tanya apa sebabnya hal hal yang indah harus berbalutkan sejarah kelam. Ataukah justru sebaliknya?




Entahlah. Mungkin hal hal indah justru dibangun demi menyamarkan aspek kelam itu sendiri.




Semuanya terlihat baik baik saja hingga sebuah notif masuk kedalam ponsel Lia. Awalnya Lia tak terlalu ambil pusing, ia kira hanya pesan spam. Namun melihat seluruh teman temannya menatap ponsel dan dirinya secara bergantian, perasaan Lia jadi tidak enak.




Jemari itu meraih ponsel di saku, mendapati sebuah foto dirinya yang hanya terbalut tank top hitam dan celana olah raga yang sudah robek dibagian sisi kaki di layar.




Dari kejauhan sang pelaku tersenyum puas mendapati air muka Lia menjadi gelap. Hyunjin memasukan ponselnya kedalam saku, lalu menyambut kepalan teman temannya sambil tertawa.















































Lia duduk dipagar pembatas jembatan sembari menangis. Jam makan siang adalah waktu yang diberikan untuk mengisi perut, namun bukannya memanfaatkan waktu sebaik mungkin, murid-murid lain justru berdiri mengelilingi Lia.




"Lompat! Lompat!"




"Jangan woy, entar tsunami gimana?"




"Eh gila, kita cabut dulu baru lo lompat."




Tubuh Lia gemetar hebat. Gadis itu menangkis lemparan minuman kaleng dengan putus asa ketika orang orang tak punya hati itu menghujaminya secara bersamaan.


"Loser!"




"Lebih bagus orang kaya dia mati aja!"




Lia berlari, memaksa diri menabrak kerumunan siswa hingga beberapa diantaranya terjatuh. Lalu terdengar umpatan dan makian bahkan ketika tubuhnya mulai menjauh.




Gak adil, semuanya gak adil.




Brakk.




Lia menunduk, tak sadar bahwa ada seorang wanita didepan yang tengah membawa sebuah keranjang berisi benang rajut. Keranjang itu terjatuh menumpahkan isi, dan Lia sangat merasa berasalah akan hal itu.




Dengan tergesa si gadis memungut buntalan benang besar yang berhamburan ke sisi jalan.




"Maaf."




"Gapapa."Si wanita berujar. Senyumannya semula berganti menjadi tatapan khawatir ketika menyadari nona muda didepannya itu terlihat sangat hancur. "Loh? Kamu kenapa nangis?"




Tangisan Lia semakin kencang. Disaat kedua telapaknya mencoba menghapus butiran air yang berlinang dari pelupuk mata, air matanya malah semakin keluar dengan deras.




Wanita itu menuntun Lia agar duduk bangku taman, memberi sapu tangan jahitannya sendiri. Tanpa jijik, ia merengkuh Lia kedalam pelukannya.





















































"Mau cerita sama mama Irene?"

APHRODITEWhere stories live. Discover now