xii. tragedy in an alley

9K 2.5K 324
                                    































Hari itu hujan turun dengan lebatnya. Kepala Lia mendongak, menatap butiran air yang turun dengan deras. Kilatan petir sesekali nampak membelah langit yang gelap gulita.

Kabar buruknya hari ini Lia tidak membawa payung.


Dengan terpaksa Lia menggunakan tas sebagai payung dadakan untuk melindungi kepala agar tidak demam nantinya.


Baru saja ia hendak berlari, namun sebuah suara menghentikan langkahnya.


"Lia!"


Lia menoleh, mendapati Jisung yang tengah melambai dari dalam mobil. Tangan kanan cowok itu keluar dari jendela, sebuah puntung rokok nampak terselip diantara jemari selagi tangan kiri menggenggam stir mobil.



"Mau bareng gak?" tawar Jisung.

Lia menggeleng pelan, "gak usah, rumah Lia deket kok."

Kepala Jisung mendongak, menatap langit dan Lia bergantian, merasa tak yakin. "Serius? Hujan gede loh ini?"

"Iya gapapa."

Jisung mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan, memilih untuk mengalah daripada bersikeras.

"Yaudah gua duluan ya kalo gitu, hati-hati Lia."

"Iya makasih."

Setelah kepergian mobil sedan hitam itu Lia segera bergegas menuju halte dekat sekolah. Gadis itu beruntung karena satu sekon kemudian bus tiba, bertepatan dengan sesampainya Lia di halte.

Bus melaju dengan kecepatan rata-rata, membelah jalanan kota yang licin karena air hujan yang henti jatuh dari langit.  Tak butuh waktu lama hingga bus kembali berhenti di halte berikutnya.

Ketika Lia turun ia langsung disambut oleh setengah lusin anak muda yang tengah bergerombol di halte. Masing-masing menyesap lintingan tembakau, membuat asap tebal mengepul disekitar.

Perasaan Lia benar-benar tidak enak, apalagi saat salah satu dari mereka menghadang Lia ketika ia ingin lewat.

"Permisi, Lia mau lewat." ujar Lia pelan, namun terdengar cukup tajam. Namun sepertinya gertakan itu hanya dianggap angin lalu, bahkan tanpa rasa takut mereka tertawa dengan remeh.

"Kamu cantik, sini duduk dulu."


Detik berikutnya tubuh Lia terhuyung kedepan, ia meringis ketika pahanya menabrak besi akibat pergelangan tangannya yang ditarik kencang.


"Minggir atau Lia telpon polisi!"

Rupanya gertakan Lia tak dapat membuat mereka berhenti begitu saja. Mereka malah tertawa dengan kencang, menganggap remeh hanya karena berhadapan dengan seorang perempuan.

"Waduh galak nih."

"Cewek cantik gak boleh galak dong, nanti cantiknya ilang."

Lia menepis tangan-tangan itu yang hendak menyentuk rambutnya. "Diem gak!? Jijik tau!" pekik Lia dengan tegas.

Ujarannya barusan berhasil memancing emosi mereka. Kemudian semuanya terjadi begitu cepat.

Saat dimana mereka menarik paksa Lia pergi ke gang yang sepi.


Saat dimana mereka memukul tubuh Lia.

Dan saat dimana satu persatu kancing baju Lia ditanggalkan.

Perlakuan mereka lebih parah daripada perlakuan Hyunjin padanya.

Lia kesakitan, tapi mereka malah tertawa.

Pandangan Lia mengabur, seluruh persendian nyeri terasa. Tulangnya pun demikian, terasa hendak patah.

Apa yang salah dengan dunia?

Lia kira jika dia berubah, tak akan ada lagi orang-orang yang akan meremehkannya. Takdir berkata lain, saat ini lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

Rasanya Lia mau mati, lagi.

Penderitaannya selama enam bulan tidak ditujukan untuk mengalami hal semacam ini.

Gadis itu merangkak, menyeret tubuhnya yang mati rasa dengan sisa tenaga di lengannya.  Namun kembali dihempas hingga punggungnya menabrak tembok dengan kencang.

Lia menyilangkan kedua tangan didepan dada, menahan kaus hitam polos yang hampir sobek karena ditarik paksa. Kepalanya menggeleng kuat sementara bibir yang bergetar memohon ampun.

"Tolong jangan, nanti mama marah."

Tarikan itu tak lagi terasa beberapa sekon kemudian. Tubuh Lia terhuyung kedepan, jatuh dengan lutut dan telapak sebagai tumpuan.

Terdengar suara pukulan beberapa saat hingga akhirnya hening. Hanya terdengar langkah kaki yang mendekat.

Sebuah sosok menghalangi binaran remang-remang lampu jalanan. Rasanya seperti dejavu. Sebuah jaket hinggap ditubuh Lia.

"Are you okay?"

Lia menatap kedua manik Felix dalam. Rambut spike pirang yang selalu di tata rapih kini terlihat berantakan bercampur peluh. Beberapa bagian di wajahnya nampak memerah akibat pukulan.

Perlahan ibu jari Lia terangkat, mengusap sudut bibir Felix yang berdarah. Memastikan bahwa benar dihadapannya adalah seorang Lee Felix yang Lia kenal.

Kemudian ia menangis, memeluk Felix dengan erat dengan tubuh yang bergetar.

APHRODITEWhere stories live. Discover now