x. tense up

10.9K 2.9K 1.1K
                                    

"Lia."



Lia menoleh, mendapati presensi pak Chan yang sudah rapih dengan balutan celana tranning dan kaus hitam. Pluit merah dikalungkan di leher, sementara tangan kanan menggenggam stopwatch garis kuning.




"Iya pak?"




"Kebetulan kamu disini." seru pak Chan sambil tersenyum manis.





Guru muda itu merogoh saku celana, "bapak mau minta tolong ambilkan bola basket di gudang ya, ini kuncinya."




Beberapa anak kunci diserahkan pada Lia. Ada label keterangan yang menyatakan fungsi ruang kunci disana.




"Baik, pak."




"Terima kasih ya."












Lia menatap punggung lebar pak Chan yang mulai menjauh. Selekas sosoknya menghilang dibalik dinding, Lia segera bergegas menuju gudang sekolah.




Gadis itu mencari kunci dengan label gudang disana. Seperti tipikal gudang pada umumnya, disana kotor dan berdebu.




Ada matras biru yang ditunpuk, beberapa lukisan yang mendapat nilai sempurna dari para alumni, cawan dan topeng hasil kerajinan tangan, dan berbagai barang yang berkaitan dengan kegiatan akademi lainnya.




Kaki jenjang itu melangkah menuju keranjang besar yang terletak disudut ruang. Selekas membuka kunci keranjang, Lia mengeluarkan empat buah bola basket sekaligus dari dalam sana.




Tak sengaja kakinya menyenggol bola sepak, membuatnya menggelinding ke luar gudang. Lia merangkak, mengikuti arah bola itu hingga berhenti didepan kaki seseorang.




"Uh, hi?"




Kepala Lia mendongak, mendapati sosok pemuda dengan balutan kaus merah belang putih.




Eh? Itu bukannya....




"Felix." ujarnya dengan aksen bule yang kental. "Kita belom kenalan waktu itu."




Pemuda ituㅡ Felix mengulurkan tangan kanannya, berniat membantu si gadis untuk berdiri.




"Makasih." seru Lia, tersenyum tak kalah kaku. "Lia."




Lalu hening, keduanya saling berhadapan dengan canggung. Entah sudah keberapa kali belakang kepala Felix digaruk untuk sekedar membunuh rasa gugup.




"Ada yang perlu saya ambil di gudang, kuncinya tinggal aja."




"Oke."





Lia memungut bola-bola yang berserakan dengan kedua tangan mungilnya.




Felix jadi gemes sendiri, total empat bola yang jauh lebih besar dari kepala cewek itu dicoba untuk dibawa sekaligus.




Ya mana bisa.




"Saya bantu kamu dulu deh."tukas Felix, meraih dua bola yang kembali menggelinding diatas ubin.




Senyuman semu terpatri dibibir si gadis. "Makasih."






Belum pernah dia dibantu teman membawa bola sebanyak ini.








Lia sangat bersyukur.










Dan senang.











































Pelajaran olahraga tak terlalu efektif untuk murid perempuan. Mereka hanya duduk-duduk di pinggir selekas lari mengelilingi lapangan dan melakukan beberapa gerakan pemanasan.




Beberapa murid laki-laki sedang bermain basket. Sisanya hanya menonton saja.




Jisung contohnya. Jemari sibuk menari diatas layar ponsel, masih betah bermain game sejak jam olahraga dimulai.




Bosan dengan pemandangan didepan, atensi Lia beralih pada lapangan sebelah. Pandangannya terkunci pada sosok Felix yang tengah menggenggam bat kayu.




Bola sebesar kepalan tangan itu melambung tinggi ketika berhasil dipukul. Si pemuda terkekeh pelan, berlari dengan sekuat tenaga hingga kembali pada home plate.




Home run.




"Liatin siapa?"




Lia terlonjak bukan main ketika tiba tiba Siyeon menepuk punggungnya. Si gadis menyerahkan sebotol mineral dingin pada Lia.




"Ini temen lu dari tadi ngeliatin Felix mulu."



Lia membulatkan kedua mata, terkejut atas ujaran Jisung barusan.



Padahal dari tadi mata cowok ceking itu hanya terpaut pada game-nya saja.




Jisung meletakan ponsel di saku, beralih menatap Siyeon dengan raut cemas.



Hanya perasaan Lia saja atau tiba tiba air muka Siyeon terlihat lebih gelap?



"Felix? Felix Lee? That baseball team captain, Lee Yongbok?"seru Haechan heboh. Tubuh cowok itu basah, penuh dengan keringat.



Tadi Haechan memang sempat ikut serta dalam pertandingan.



Setelah ujaran spontan Haechan, tiba-tiba saja Siyeon pergi. Dari arah gerak, Lia bisa yakini bukan kelas tujuannya saat ini.



"Siyeon gak suka sama Felix." Jisung berucap, setelah Siyeon berlalu.



Kedua kelopak ganda Lia mengerjap bingung. "Kenapa?"



"Siyeon itu manager klub. Dulu Felix bukan apa-apa, tapi sekarang naik pangkat setelah ketua yang terdahulunya lengser." jelasnya.



Jisung meluruskan kedua kaki di atas pangkuan Haechan, yang membuat omelan geram tercetus dari bibir pemuda berkukit gelap itu.



"Sadar diri kaki lu bau terasi!"



Jisung terkekeh pelan, menodongkan kakinya ke depan wajah Haechan. "Sempet ribut, tapi mayoritas pada setuju kalo Felix yang gantiin. Ya walaupun selisih minoritas sm mayoritas gak beda jauh."




"Emang dulu siapa?"




Jisung dan Haechan saling melempar tatap. Lia jadi tak enak hati karena terlalu penasaran.




"Namanya Jeno."bisik Haechan sepelan mungkin. "Lu gak kenal, anaknya udah gak ada soalnya."




Salahkan saja Lia yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi.




"Meninggal?"















































"Meninggal kayaknya lebih baik."








***

uhukk baca the visit kalo kepo uhukk.

APHRODITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang