xiii. adrenaline

9.3K 2.5K 281
                                    












Felix menyesap lintingan tembakau dikedua bilah bibir.


Cowok itu terdiam, duduk di jok motor serta mengamati sekitar dengan sabar. Jemarinya mengetuk dashboard tak sabaran selagi telepon genggam diletakan di depan telinga.


"Mana? Katanya udah pulang?"


"Ya emang, tunggu aja udah."


Kerutan halus nampak di dahi ketika panggilan diputus secara sepihak.


Felix memang sedang memperhatikan Lia semenjak mereka bertemu di tempat karoke. Ada suatu gejolak aneh dalam dirinya ketika pandangan keduanya bertemu.


Aneh. Baru pertama kali Felix merasakan hal ini.


Entah itu keinginan dirinya atau bukan. Felix ingin terus menemui Lia sejak saat itu.



























Mulai jenuh menunggu, cowok itu membuang puntung rokok ke tanah. Mungkin saja Lia sudah kembali dan Felix tidak melihatnya.

Felix berniat bergegas pulang dari halte bus itu. Tiba tiba saja indera pendengarnya menangkap suara jeritan yang terdengar samar.


Ketika diikuti betapa terkejutnya Felix ketika menemukan sosok yang ia cari selama beberapa jam belakangan ini, tengah memeluk diri sendiri guna melindungi tangan-tangan tak bertanggung jawab itu yang mencoba melepas kausnya.


Kepala Felix terasa panas. Tanpa ia sadari tinjunya sudah mengarah pada pipi, perut, hingga kepala mereka.


Pukulan balasan yang ia terima sama sekali tak terasa nyeri. Justru tubuhnya terasa makin memanas, disertai dengan jantung yang berdebar dan bulir keringat yang berjatuhan dari dahi.



Felix tak terima, ia marah.



Setelah membuat satu persatu lawannya tumbang, Felix menghampiri Lia dengan nafas yang terengah.














"Are you okay?"













































Mereka berakhir di rumah Felix.


Lia enggan berbicara barang satu patah kata apapun sejak menangis selama berjam-jam. Wajahnya ditenggelamkan dibalik lipatan tangan.


Felix  bingung harus apa.


Sudah hampir pukul empat pagi. Felix tak ingin kakak laki-lakinya mengetahui bahwa ada perempuan asing di dalam rumah.


Bisa gawat.


"Lia, saya anter kamu ke rumah ya?" bujuk Felix.


Untuk pertama kalinya Lia mengangkat kepala. Matanya membengkak, tubuh kurus yang terbalut kaus kebesaran milik Felix kini bergetar hebat.


Kepala Lia menggeleng.


Helaan nafas mencelos dari bibir ranum sang pemuda. "Saya temenin, tapi jangan disini." Felix berseru.


















"You can trust me, okay? Everything is gonna be alright."

APHRODITEWhere stories live. Discover now