[Problem Solving]

124 16 4
                                    

Aku yang bangun karena kasur penuh bulu angsa dan menyambut pagi super elegan telah menjadi suatu kebiasaan yang sudah melekat beberapa bulan ini.

Namun, hal yang aneh ialah saat meja makan diisi dua buah kepala merah.

.

With love,

Miroko presents,...

[RAIN]

Kuroko no Basuke milik Tadatoshi Fujimaki

.

"Selamat pagi, Akashi-sama"

Salamku seraya menunduk sedalam-dalamnya.

"Tolong, Masaomi-saja."

Senyumnya tipis penuh udang di balik batu.

"Atau, kau lebih memilih untuk memanggilku Papa?"

Nah, itu dia udang gorengnya.

Sekarang aku telah terpaksa menyebut pilihan kedua.

Di dalam kalimatnya, tidak kata-kata lain selain 'panggil aku Papa'

Kata lainnya itu bersifat sunyi atau tak berbunyi.

Begitulah artinya dalam bahasa ke-absolutan, tolong jangan ditanya kenapa.

Ayah dan anak tidak ada bedanya.

Sei yang duduk disampingku, hanya terdiam di kursinya sambil mengisyaratkan lewat matanya agar aku duduk di sampingnya.

"Baiklah kalau begitu, Papa"

Setelah menduduki kursi megah ini, kami pun memakan makanan pa-

"[Name], bagaimana sekolah barumu? Apa kau senang berada di sana?"

-gi. Makanan pagi kami. Masaomi- maksudku Papa, menginterupsi delusi pagiku.

Seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang keturunan Akashi.

"Baik-baik saja, Papa"

Jawabku, sambil menyendokkan sesendok makanan yang luar biasa memuaskan itu, penasaran akan kemana percakapan ini akan menuju.

"Kenapa ayah tiba-tiba bertanya?"

Sei yang sedaritadi diam pun angkat bicara.

"Karena aku mendengar bahwa ia tidak baik-baik saja. Aku mendengar bahwa menantu tersayangku ditindas oleh siswi lainnya"

Seketika waktu disekitarku berhenti. Seakan-akan aku punya Emperor eye.

Aku pun berharap punya kecepatan dua puluh mach untuk melarikan diri ke Cina saat ini juga.

"Aku harap kalian dapat menyelesaikannya sendiri. Jika tidak bisa, hubungi saja Papa."

Dan setelah meninggalkan selembar kartu nama di meja makan, ia pun beranjak dari tempatnya. Meninggalkan aku dan Sei.

Sei,… apa yang harus kulakukan?

Aku tidak mau mereka mati dibunuh ayahmu.

"[Name], apa kau benar-benar sadar bahwa kita memiliki masalah? Kau masih sempat melucu disaat-saat seperti ini?"

Mendengar nada bicara Sei, ia bukan marah. Bukan juga level setan. Ia sepertinya sedikit tersenyum akibat leluconku.

"Bagaimana caranya mengatasi sasaeng-mu?"

Penasaran, akhirnya pertanyaan itu terlontar keluar.

"Mereka tidak akan bisa hilang sepenuhnya, tapi aku bisa memastikan mereka tidak akan lagi mencoba mengganggu kita. Selamanya"

Aku pun memeluknya, dan mendengarkan simfoni jantungnya yang menenangkanku.

Meski Sei sedang dalam mode yandere, aku tetap mengganggapnya imut.

Tapi bagaimana caranya aku pergi ya?

"Akan kupastikan mereka tidak melihat hari esok."

Secara serentak aku melepaskan pelukanku dan berlari menjauhinya.

"Sei, itu bercanda kan?"

Dengan takut-takut aku menyahut.

"Mungkin saja"

Ujarnya sambil menyeringai jahat.

"Terserah deh. Asal pacarku tidak menjadi seorang pembunuh"

Mereka benar-benar tidak melihat mata'hari' esok pagi.

Karena mereka dikurung semalaman di sebuah basement punya Akashi.

Tidak lucu, karena setelah diberi terror mereka dipulangkan kembali dengan selamat. Tidak seorangpun yang mengalami gangguan mental, hanya sepenuhnya sakit hati.

Tentunya tidak semuanya akan langsung menghindar dan menurut saja. Pasti masih ada bibit dendam dihati mereka, yang mengharapkan aku mati.

Untuk sementara ini, sebelum aku menikah, mereka masih akan berusaha menghancurkanku.

Tapi aku punya Sei, jadi segalanya akan lebih mudah bukan?

"Tentu saja."

[A/N]: adakah seorang dari buliran hujan saya yang tahu mengapa tulisan saya dapat berubah se-drastis ini?

Demi udang di balik batu, saya tidak tahu kenapa saya menulis dengan sangat tidak kreatif dan sangat pendek.

[Rain]Where stories live. Discover now