[Problem]

55 4 0
                                    

Di dunia ini, tidak ada yang namanya bahagia selamanya tanpa rintangan.

Hidup itu bukanlah jalan tol.

Saat kau berhenti menutup mata dan telingamu dari kenyataan,

"Gadis aneh itu selalu saja menempel pada Akashi"

"Siapa gadis itu? Tidak tahu diri sekali terus-terusan berada di sisi Akashi"

"Lebih baik dia mati saja. Tidak ada gunanya dia bersama Akashi."

"Dia bahkan tidak pantas untuk hidup. Bagi Akashi, dia hanya butiran debu di kakinya"


… kau akan kembali berjalan di padang pasir tanpa ujung.

Banyak orang yang memandang hubunganku dengan Sei tidak pantas.

Aku hanya mengabaikan mereka, karena telah terbiasa.

Asal kau tahu, aku pernah melihat yang lebih parah.

Paling tidak, tak ada siapapun yang berani menggangguku secara fisik.

Tetapi bukan berarti mereka takut untuk merusak meja dan sepatuku.

Oh, jangan lupa loker yang penuh sampah dan darah palsu itu.

Hm? Apa Sei tahu? Tentu saja. Dia kan esper.

"Aku bukan esper, [Name]"

Tuh, dianya muncul.

"Sei, boleh aku minta peluk?"

Seperti boneka teddy bear, kalau bisa. Aku sedang sedih. Benar-benar putus asa karena kata-kata mereka.

Aneh.

Padahal harusnya aku sudah terbiasa. Mengapa kali ini hatiku terasa seperti dicekik tangan-tangan tidak terlihat? Mengapa kali ini kicauan mereka berhasil mengusikku sampai seperti ini?

Ia kemudian menarikku lembut ke dalam pelukannya yang hangat sambil berbisik.

"Aku tidak pernah punya boneka. Apalagi yang sebesar ini"

Kemudian Sei mengangkatku ke udara tanpa kesusahan. Lalu memainkanku bagaikan anak kecil yang ingin diterbangkan ke angkasa.

Dan, tak lama kemudian, ia mendudukkanku pada meja perpustakaan. Setelah itu ia berlutut berlawanan arah tepat didepanku, membuatku gelagapan sendiri.

"Kau ingin digendong bukan? Teddy bear?"

Tanyanya tidak sabaran, seperti anak kecil saja. Aku tahu ia jarang seperti ini. Sei sengaja berusaha menghalau gosip yang menggangguku itu.

Tanpa basa-basi aku naik ke punggungnya, mengelus-eluskan hidungku pada lehernya. Berlagak seperti aku seorang vampir.

Pheromone-nya melimpah ruah, jiwa vampir liarku menggelora.

Aku ingin-

"Jangan coba-coba" ujarnya memperingatiku.

Karena aku menempelkan telingaku pada punggungnya, suaranya terdengar seperti sedang berkumur. Terdengarnya sangat lucu.

"Jahat" bisikku di telinganya sambil memonyongkan bibir.

"Kau lebih jahat lagi. Karena kalau kau melakukan sesuatu lebih dari ini…"

Ia berhenti sebentar, lalu atmosfir yang ada berubah total.

"Aku tidak akan bisa menahan diri"

Nadanya begitu rendah dan menggoda.

Seperti iblis yang mencoba menjeratku dalam pencobaan yang amat dalam.

Yang sempat terbesit di pikiranku adalah;

'Aku percaya padamu dan segala yang kau lakukan. Jika aku harus menyerahkan jiwaku pada sang iblis, maka itulah nasibku'

"Bukankah memanggil pacarmu 'iblis' itu keterlaluan, [Name]?"

"Jadi, kau tidak mengakui bahwa kau itu memang iblis? Apa mau kupanggil malaikat saja?"

"Malaikat maut"

Setelah itu kami pun pulang kerumah dengan tentram(?) dan penuh keheningan.

Naik limousine tentunya, punggung Sei bisa-bisa patah jika ia menggendongku lebih lama lagi.

Oh, dan setelah itu Sei tidak bicara sepatah katapun padaku hingga esok harinya. Itupun karena aku yang meminta maaf, takut iblis yang tersembunyi di dalamnya bangkit lagi.

[Rain]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang