6. Planing Trip

1.2K 74 4
                                    

Matahari mulai tersenyum di langit Bandung. Sandara berjalan santainya di koridor kampus. Tak disangka, ia berpapasan dengan seorang Gevan. Ya, Gevan yang sekarang menjadi mantan kekasihnya. Gevan melotot melihat Dara yang tercengang melihat sosok dirinya. Namun, Gevan membuang pandangannya dan meneruskan untuk melanjutkan langkahnya. Dara hanya terdiam. Lagi-lagi rasa sakit bersambung kecewa itu datang lagi. Ia bahkan tak bisa meluapkan emosinya walau ia tahu dirinya begitu benci dengan orang itu. Dara mengepalkan tangannya kasar dengan perasaan kesal. Ia lantas melangkah untuk pergi.

Jam mata kuliah pertama telah selesai. Perlengkapan melukisnya sudah tersedia dihadapan seorang gadis berkulit kuning langsat itu.

"Lukis lagi? Gue baru ngajak lo makan," ucap Yumi.

"Lo duluan aja, nanti gue nyusul," jawabnya datar tanpa ekspresi.

"Hai, lo mau makan kan?" tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba saja menghampiri mereka.

"Hah, Mark. Aduh, kenapa dia ke sini sih, gue keliatan jelek gak ya?" batin Yumi cemas.

"Tuh ajak dia makan, katanya dia laper. Mark, jagain temen gue ya."

Mark adalah laki-laki blasteran Indo-Jepang di kampus Warnabaru. Dia banyak dikejar para kaum hawa. Ia pun satu-satunya lelaki yang diincar oleh Yumi, karena mereka berasal dari ras yang sama.

"Lo Yumi kan?"

"I .... iya gue Yumi," jawabnya gugup.

Dara tertinggal sendiri di kampus. Oh tidak, ia tidak sendiri sekarang, karena laki-laki bernama Afta itu melihatnya saat ia melewati kelas Dara. Dengan sumringah, Afta menghampiri Dara dengan tas gendol yang terus ia pegang dengan girang.

"Hai, lo ngelukis?" Afta dengan sergap terduduk di atas meja. Kakinya ia naikkan ke kursi mahasiswa.

"Yang lo liat apa emang?"

"Jutek banget. Boleh gue ikut?"

"Gue larang juga lo pasti tetap di sini kan?" Dara hanya fokus pada kanvasnya.

Telepon seketika berdering. Ponsel Afta bergetar keras menganggu fokus Dara yang sedang memberi sebuah warna hitam dalam lukisannya.

"Halo, Van? Ada apa?"

"Lo mau ke rumah sakit? Sekarang? Ya udah gue cabut sekarang." Afta menghentikan proses panggilannya.

"Itu kurang warna abu. Kalau lo sedikit kasih warna abu, gambar lo gak akan mati." Afta lantas melangkah pergi setelah memberi saran pada Dara.

Dara tertegun mendengar perkataan Afta, matanya memencar kebingungan. Bahkan apa yang Afta katakan selalu benar. Dara mencoba mengoleskan warna abu pada kanvasnya. Ia membuat sebuah bayangan yang Afta bilang jika tidak ada, gambar itu akan terlihat mati. Dara melebarkan matanya ketika lukisannya terlihat lebih baik dari sebelumnya setelah sentuhan warna abu itu.

"Jago juga tuh orang seninya, gak sebanding sama mukanya yang ngeselin bin jengkelin," gumam Dara.

Keluarlah laki-laki dari gedung kampus.

"Lama lo, ngapain sih?" tanya Gevan.

"Gue abis godain cewek cantik lagi melukis. Eh iya, lo mau jenguk Bagus atau mau cek-up?"

"Gue cuma mau liat Bagus kok," jawab Gevan datar.

Sampai di rumah sakit, mata Gevan tak henti menatap gadis bernama Eresa yang tengah menatapnya aneh. Dihampirinya gadis itu dan lantas diberikannya coklat untuk Eresa.

"Kakak, kakak siapa sebenarnya? Kenapa selalu kasih aku coklat?" tanyanya polos.

"Oh, dia itu ....." Ucapan Afta terpotong saat Gevan berusaha menahannya untuk bicara.

Sore hari tiba, Afta mengantar pulang Gevan ke rumahnya.

"Istirahat yang cukup, jangan begadang lo malam ini." Ucapan peduli Afta membuat Gevan tersenyum tipis.

"Tenang aja." Gevan senyum datar.

Sampai di kamar, Gevan merasakan sakit di bagian perut, dada juga kepalanya. Keringat sudah mengucur di pelipisnya. Tangannya memencar mencari sesuatu di atas nakas. Dibuka beberapa laci dan diambilnya sebuah botol kecil berisikan sebuah pil. Pil itu segera diminumnya dengan cepat. Tangannya seketika menjadi tremor.Ia lantas terduduk lemah di sofa dengan matanya yang mulai berkaca-kaca. Gevan terlihat seperti layaknya orang baru saja mengikuti lari marathon. Napasnya terlihat terengah-engah tak sempurna. Dia mengacak rambutnya asal. Sepercik penyesalan terlihat di wajahnya.

"Sial, sial, sial, kenapa harus kayak gini?" gumamnya kesal.

Kampus Warnabaru mengadakan trip ke Bali untuk liburan akhir semester yang dilakukan seluruh mahasiwa terkecuali mahasiswa semester tujuh dan delapan. Yumi tahu, bahwa pasti ajakannya akan ditolak oleh Sandara. Itu kenapa Dara selalu dibilang gadis penyendiri dan aneh. Dulu, yang ia kenal hanyalah Yumi dan Gevan. Selain mereka, Dara tak pernah bersahabat dengan siapapun kecuali untuk tugas kuliahnya. Dara selalu tak ikut apapun event dari kampus ataupun program kampus lainnya. Ia hanya menjalani kehidupannya seperti biasa. Tersenyum dan tertawa jika ingin. Merasa cuek dan sedih sesukanya. Tahun lalu, Dara tak ikut trip. Namun kali ini, Yumi harus memaksanya untuk ikut. Yumi ingin sekali Dara bisa terlihat senang karena Yumi pikir trip seperti itu adalah salah satu kesenangan yang harus dirasakan setiap mahasiswa Warnabaru. Disamping gratis, pasti bisa memberikan ketenangan pikrian. Terlebih lagi, bagi Dara.

"Nggak, gue gak mau ikut," ucap Dara dengan terus melangkah,. Yumi terus mengikuti langkahnya seraya memohon.

"Ayolah Dar, kali ini aja lo ikut liburan. Siapa tau kan lo bisa me-refresh kembali pikiran lo yang pernah kelabu itu."

"Pikiran gue gak butuh itu. Gue mau jalanin ini sendiri. Lagipula, trip kayak gitu sungguh bosenin." Dara menggerutu sepanjang jalan.

Yumi menghela napas panjangnya. Tidak tahu bujukan apa lagi yang harus ia lakukan pada Dara. Otak kecilnya kemudian berpikir kembali. Ide cemerlang terdapat dipikirannya.

"Emmm, Dar .... lo kan bisa cari inspirasi buat lukisan lo. Lo kan pernah punya mimpi buat taruh lukisan lo di museum kan?" Pertanyaan Yumi membuat Dara menghentikan langkahnya.

Yumi terdiam kaku menunggu jawaban yang keluar dari mulut Dara.

"Lumayan juga ide lo." Dara membuat Yumi tersenyum sumringah.

"Berarti lo ikut? Yeeyy, gue mau siap-siap. Lo jangan lupa telepon gue kalau udah sampe rumah. Gue cabut, bye." Yumi lantas masuk ke mobil dan pergi pulang.

"Hadeh, tuh anak emang bisa ya bikin orang gak bilang 'Nggak' di depannya," gumam Dara menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

Dara bahkan tak niat untuk melakukan itu. Tapi permohonan Yumi membuatnya begitu segan untuk menolak walau sekeras apapun ia mencoba. Yumi layaknya kunci ekspresi Dara. Yumi tahu yang baik untuknya, atau buruk untuknya. Yumi juga tahu setiap perasaannya. Maka dari itu, ia bisa meninggalkan apapun dan memilih untuk menjalani hidup semestinya, tapi ia tak pernah bisa untuk meninggalkan sahabatnya itu bagaimanapun jadinya.

Voment🙏thx
Tekan bintang di kiri bawah, hal itu membangkitkan semangat para author. Thx

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang