21. Penuh Canggung

659 41 0
                                    

Di ruang seni, keringat Dara mulai mengucur hebat, panas dirasakan di seluruh tubuhnya. Matanya menutup seakan tidak ingin ia membukanya, kala terpajang lukisan anak kecil perempuan dihadapannya. Ya, Dara tengah belajar membiasakan dirinya untuk keluar dari rasa traumanya itu. Ia selalu berusaha menatap lukisan anak kecil yang ada di kampusnya. Dara membuka mata perlahan, menatap lukisan anak kecil yang entah siapa. Perkataan sang Ayah beberapa tahun yang lalu masih mengiang di telinganya.

Dara menutup telinganya. Ia memutar balik badannya yang dipenuhi keringat. Padahal, dirinya hanya berdiri beberapa menit dihadapan lukisan itu, tapi tubuhnya serasa baru saja melakukan lari marathon. Di balik kejadian itu, kedua mata laki-laki tengah menatapnya dari kejauhan. Kedua alis tebalnya dikerutkan, melihat gadis itu terasa miris mengikis hatinya. Afta berjalan menghampiri Dara yang masih menutup telinganya. Mungkin hal ini yang menjadikannya dipanggil psikopat oleh beberapa teman yang tak pernah menyukainya. Afta lantas memegang kedua tangan Dara, melepaskan kedua tangannya dari telinganya. Dara melebarkan matanya kaget. Bahkan Afta selalu muncul kala dirinya merasa aneh.

"Ayah lo pasti gak suka liat lo kayak gini. Beliau pasti sedih karena lo ngilangin lukisannya."

Sial, dari mana pria itu tahu akan hal itu? Dara pikir, pasti Yumi yang selalu mendukungnya untuk bahagia yang bisa berucap akan hal itu. Karena memang hanya dia yang tahu tentang apapun kehidupan Dara selama ini.

"Kenapa sih lo selalu ganggu hidup gue?" Dara melepaskan lemah tangan Afta.

Afta masih menatapnya dengan tatapan tajam rasa ingin menerkam.
Dirinya dibuat salah tingkah karena sikap Afta. Mereka saling menatap beberapa detik. Suara Dara menelan salivanya hampir terdengar oleh Afta. Tatapan Afta begitu menekannya saat itu dan ia merasa ada yang aneh saat Afta menatapnya begitu dalam.

"Apa sikap gue berlebihan sama lo? Apa perbuatan gue begitu gak pentingnya buat lo Dar? Apa lo gak pernah mganggap gue ada di depan lo selama ini?" Afta membuat Dara bingung sendiri.

"Oke. Gue emang suka bercanda, gue licik, gue aneh, gue konyol, gue jail, gue ngeselin. Tapi, apa lo gak bisa nganggap gue ada dihadapan lo? Baru kali ini gue seserius ini akan hal perasaan. Baru kali ini juga gue seserius ini memikirkan seseorang, yaitu lo. Tapi kalau sikap gue gak pernah bermutu dihadapan lo, oke ... gue akan berhenti bersikap konyol di depan lo. Tapi satu hal yang lo bisa tau, bahwa gue gak berhenti buat suka sama lo," ucap Afta layaknya tamparan keras untuk Dara bisa terbangun dari semua dunia khayalnya selama ini.

Afta meninggalkannya di ruang seni dengan tenang. Bahkan punggung lelaki itu terlihat begitu tajam saat dia berjalan pergi. Dara mengerutkan dahinya kebingungan ia bahkan mengerti semua maksud Afta, namun apa yang dia lakukan selama ini hanya bergeming dan berpura-pura untuk tidak tahu tentang apapun. Dara mulai merasakan jantungnya berdebar begitu cepat, sampai pendengarannya yang tajam pun merasakan getaran itu.

"Gue kenapa?" gumamnya seraya bertanya-tanya pada dirinya.

Ting Tung

Pesan LINE masuk

Gorila :
Lo gak ke rumah sakit?

Me :
Hari ini gue sibuk, tugas gue numpuk. Tolong sampein sama Eresa gue gak bisa ke rumah sakit.

Gorila :
Eresa kecewa, dia keliatan murung terus dari tadi. Dia mikir, gak pernah ada yang peduli sama dia.

Dara mengerutkan dahinya ketika pesan akhir dari Afta si Gorila. Matanya memencar ke segala arah dengan berusaha berpikir keras. Dengan sergap, Dara mengambil tas, juga kunci mobil yang tergeletak di atas nakas kamarnya.

"Bu, Dara ke rumah sakit," teriaknya disela menuruni anak tangga rumahnya.

"Hati-hati," jawab Bu Dian yang selalu melengkapi perkataannya.

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang