26. Falling Love With Maniac

643 44 0
                                    

"Satu hal yang gue tau, sorot matanya yang tajam seakan gue gak bisa berpaling menatapnya. Dia bodoh, tapi dia begitu peduli akan hal apapun yang terjadi sama gue. Dia emang pengganggu, tapi dia selalu berusaha ceria di depan gue padahal masalah yang dihadapainya pun lebih rumit dari gue. Dia yang selalu berusaha buat ketawa di depan gue, di samping itu kondisi adiknya selalu bikin dia lemah. Dia terlalu agresif, tapi dari sikapnya itu gue merasa terlindungi." -Dara

Mata seorang gadis sedang menatap Dara begitu tajam. Sementara Dara hanya bergeming bingung di depannya. Ya, Yumi sedang menginterogasi Dara saat itu. Ia sungguh penasaran tentang kisah temannya dengan laki-laki bernama Afta yang kian hari dilihat kian mencintai Dara.

"Kenapa lo liat gue begitu?"

"Jawab gue sekarang atau lo bakal gue bunuh."

"Hah? Kok lo sadis banget sih."

"Lo udah jadian kan sama Afta?" Yumi membuat Dara tersedak karena dirinya tengah meminum segelas jus.

"Ng ... nggak."

"Jangan bohong."

"Gue serius, Afta gak neken gue sama pertanyaan itu. Tapi menurut gue dia emang cowok yang baik dalam tanda kutip walapun dia pecicilan."

"Dara, lo mau nunggu apalagi? Mau mikir apalagi? Nyatanya diri lo pun anggap Afta itu orang baik, lo nyesel kalau kehilangan dia."

"Apaan sih lo ah. Pidato soal cinta terus."

Gadis itu berdiri dan berusaha menghindari penasaran Yumi kala itu. Padahal, sudah jelas sekali terlihat bahwa ia pun menyukai Afta tapi tak pernah bisa mengungkapkannya secara spontan. Hati masalalunya terlalu dalam ia pendam. Bahkan Gevan pun sepertinya belum sempurna ia lupakan. Tapi, kedatangan Afta mengikis sedikit demi sedikit bayangan masalalunya yang mengundang luka pada hidupnya. Tak pernah pikirkan kalau ia akan berkenalan dengan laki-laki yang sungguh aneh seperti Afta. Ia tak memaksa tapi ia terus mengejar. Ia ditolak tapi ia tak pernah menyerah. Tak sadar, Dara tersenyum sendiri mengingat pertama kali ketika Afta dan dirinya bertemu di rumah sakit. Di tengah perjalanan pulangnya, tangan seseorang tiba-tiba menggenggam tangannya dengan erat. Hal itu membuat Dara terkejut dan lantas menoleh pada sumber datangnya tangan tersebut.

"Afta? Ngapain lo?" Dara berusaha mengelak namun genggaman Afta semakin kuat.

"Kenapa? Sama pacar ini, salah ya?"

"Pacar?"

Setelah bertanya dengan heran, Dara menghela napasnya datar dan mulutnya sudah berancang-ancang untuk berkata apapun yang ada di pikirannya pada Afta.

"Afta denger ya. Kita belum resmi jadi apa-apa. Jadi lo jangan sembarangan deketin gue kayak gini," ketus Dara. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Afta. Namun hasilnya pun nihil, Afta malah mengeratkan genggamannya tanpa malu.

"Dara, gue pengin nunjukin sesuatu sama lo. Lo mau gak liat sunset di bukit belakang kampus sama gue sekarang?" Pertanyaan Afta seperti tekanan untuk Dara.

"Sunset? Gak, gue gak bisa dan gak mau."

"Yumi bilang Dara takut sunset. Gue mau ngilangin rasa trauma dia akan hal apapun. Sungguh, gue gak mau lo terus kayak gini Dar, hidup bersama luka," batin Afta.

Afta menarik paksa lengan Dara menuju bukit belakang kampus. Spot itu sering sekali dihuni oleh para mahasiswa yang ingin melihat fenomena sunset setiap harinya.

"Tempat apa ini? Bahkan selama beberapa tahun gue baru tau ada tempat ini di dekat kampus." Dara melongo heran, melihat banyak orang yang berkerumun dan di dominasi adalah mahasiwa kampusnya.

UNTITLED, 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang