30. Sendu

653 34 1
                                    

Beberapa hari setelah kepergian Gevan, Dara kembali lagi pada sifat aslinya. Dia lebih banyak diam, melukis sekiranya dia mau dan lagi-lagi berkutik dengan warna hitam. Dara  juga terus bungkam mulut dengan Yumi. Ya, kebahagiaan itu ternyata hanya bisa ia cicipi. Luka, luka, dan luka terus menerus menggores hatinya tanpa henti.

"Dara, makan yok?" ajak Yumi.

Tak ada jawaban dari Dara yang masih fokus pada lukisannya.

Sementara Afta, ia terus melamun di samping ranjang Bagus yang masih sendu atas kepergian Gevan. Matanya pun masih terlihat bengkak karena menangisi kepergian sahabatnya.

"Kakak, kenapa kak Gevan bisa sakit? Harusnya yang pergi lebih dulu itu Bagus." Bagus ikut menangis karena Gevan sudah seperti kakak kedua baginya selama ini. Ia selalu menyempatkan waktu berbagi coklat pada Bagus, juga menemaninya saat Afta tak ada. Tentunya, bukan cuma Dara dan Afta yang merasa kehilangan Gevan saat ini.

"Bagus, kamu gak boleh ngomong kayak gitu, itu udah takdirnya kak Gevan," jawab Afta terus mengelus kepala Bagus dan menghapus setiap air matanya.

"Kak Afta." Panggilan Eresa membuat Afta menoleh perlahan.

"Iya sayang, kenapa?" tanya Afta, pada Eresa.

"Kak Gevan itu orang yang selama ini kasih Eresa coklat. Iya Eresa masih ingat wajahnya. Tadi Eresa liat di ponsel kakak sama Bagus waktu kakak ke toilet."

Perbincangan mereka ternyata telah meloloskan air mata seorang Dara yang diam-diam menguping di luar pintu ruangan tempat Bagus dan Eresa dirawat. Ia yang awalnya ingin masuk, malah pergi karena tak kuat membendung tangisnya.

Dara pergi ke sebuah danau. Ia menangis mengeluarkan segala rasa sendunya yang tertahan di sana. Danau itu yang sering ia kunjungi bersama Gevan dulu. Danau yang juga menjadi saksi bisu cinta mereka. Peristiwa itu ditatapi oleh Afta dari belakang. Afta tahu jika Dara hari itu ke rumah sakit, karena Dara sempat menjatuhkan coklat yang mungkin hendak ia berikan pada Eresa. Afta justru paling sakit ketika melihat Dara menangis sendirian di sana, namun ia tak bisa melakukan apa-apa saat itu.

Beberapa hari, hubungan Dara maupun Afta tak jelas dan tak tentu arah. Mereka tak tegur sapa, ataupun saling membalas pesan seperti yang mereka lakukan sebelumnya.

"Dar, gue minta maaf kalau ngomong  soal ini sama lo, tapi tindakan yang lo lakuin ini salah. Gue tau hati lo emang belum bisa melepas Gevan, tapi dia udah pergi. Gue rasa, Gevan gak tenang kalau lo terus diem gini, gimana sama Afta?"

Yumi yang sudah tak tahan dengan sikap Dara dua minggu terakhir itu, akhirnya berusaha membujuk Dara untuk melupakan segala luka hidupnya.

"Yumi, please. Untuk saat ini gue mau sendiri. Gue gak mau ngerasain apa itu cinta ataupun apalah. Hati gue udah terlalu sakit."

"Tolong buka mata lo. Bukan cuma hati lo yang sakit. Pikirin juga perasaan Afta. Apa yang Afta lakuin selama ini, apa? Kalau lo terus kayak gini, gue gak jamin bahwa sebentar lagi orang-orang terdekat lo pun akan menjauh dari lo Dar!" Yumi melangkah meninggalkan Dara dengan jengkel.

Ya, keras kepalanya Dara ternyata telah menjengkelkan banyak orang. Walaupun begitu, ia tak bisa begitu saja menghapus segala kenangan dalam pikirannya dengan begitu mudah.

••

Semua peristiwa demi peristiwa berlalu. Dan sudah dua minggu lebih setelah kepergian Gevan, semuanya menjalani kehidupannya masing-masing. Siapa lagi jika bukan Afta dan Dara. Mereka lagi-lagi kembali menjadi asing. Walaupun niat Afta hanya memberi ruang untuk Dara, semua itu berlanjut saling diam satu sama lain. Afta takut, ia akan lebih menyakiti hati Dara jika ia terus menerus menjadi beban bagi hati perempuan itu.

UNTITLED, 2017Where stories live. Discover now