Q22. Teori Kebahagiaan Miyu

5.8K 774 545
                                    

Pergi bukan berarti lari dari masalah, tapi karena gue ngalah.

==========

“Loh, Gyu? Tumben malem-malem ke sini?”

Mingyu menghela napas saat hendak membuka kunci kamar di Griya GSM. Berniat menenangkan pikiran, namun belum ada semenit menginjak kaki di Ciputat malah terciduk Rowoon yang kebetulan masih terjaga.

Pukul 2 malam, di mana semua kamar sudah menutup dan gelap. Termasuk kamar Rowoon yang hanya temaram dari lampu tidur, rupanya gak menunjukkan jika si penghuni juga terlelap. Kesialan datang bertubi-tubi menghampiri Ananda bungsu ini.

“Iya Mas, mau tinggal di sini dulu untuk sementara waktu.”

“Lah, Raden sama Miyu gimana?”

Mingyu membeku, tangannya meremas kenop pintu. Sisa pertengkaran tadi masih belum sepenuhnya hilang, atau sebenarnya Mingyu gak sempat melampiaskan semua sehingga beban terasa berat. Perkara salah paham membuat dia terpaksa pergi meninggalkan anak juga istri.

Gak ada jawaban, Rowoon bertanya lagi. “Kalian berantem?”

Dan sulung dari dua bersaudara itu terkejut ketika melihat anggukan kepala Mingyu yang lemah. Ditambah ekspresi wajah lelah juga bercampur rasa bersalah. Kacau adalah satu kata yang menjelaskan kondisi Mingyu.

“Raden lagi dalam kondisi mood gak baik, gue cuma kasih ruang buat dia nenangin diri.”

“Dengan pergi melarikan diri gini?”

Mingyu menatap tajam Rowoon. Sebenarnya enggan diintervensi oleh siapapun, meski oleh kakak kandung sendiri. Namun kasusnya beda malam itu, Tuhan seperti sengaja mempertemukan dengan Rowoon sehingga tidak ada masalah yang bisa ditutup-tutupi lagi.

“Pergi bukan berarti lari dari masalah, tapi karena gue ngalah.”

Rowoon mengerti, menganggukkan kepala. “Ya udah Dek, masuk kamar Mamas sini. Cerita kronologisnya gimana, masalah ini gak bisa dipendam terlalu lama karena membawa nama keluarga.”

Tanpa protesan Mingyu menurut dan memasuki mantan kamarnya dulu. Begitu lelah tubuhnya akibat seharian bekerja, namun gak selelah hatinya yang lagi-lagi menanggung beban berupa rasa sakit akibat kesalahan yang dia perbuat.

“Air putih gak papa, kan?”

“Santai, Mas.”

Rowoon menunggu Mingyu habiskan isi gelas dan membuka jaket yang masih membalut tubuh bongsornya. Ternyata dingin dari luar terasa panas apabila sembari menahan amarah. Sungguh dia gak mau kelepasan, makanya Mingyu memilih pergi daripada harus membuat situasi menjadi semakin parah.

“Jadi sekarang karena apa? Masih cemburu-cemburuan?”

“Ya gitulah, Mas. Sebenernya salah paham tapi cukup fatal. Raden lebih dulu nemuin paket kiriman Bu Irene dan membaca isi suratnya, wajar kalo dia semarah itu.”

“Bentar ..., Bu Irene nasabah kamu yang dua minggu lalu dirawat? Kenapa dia ngirim paket dan surat segala? Kamu gak macem-macem, kan? Gak ada niatan selingkuh, kan?”

“Nggak lah, mana berani gue nyari gara-gara. Apalagi selingkuh, amit-amit ya Tuhan gue gak sebobrok itu. Ini murni salah paham, kayaknya gue udah bikin Bu Irene kelewat nyaman.”

Mengerti dengan arah pembicaraan sang adik, Rowoon mengangguk dan mulai menganalisis. Wajar kok, dia juga berkecimpung di dunia yang sama. Gak cuma satu dua nasabah yang menaruh kekaguman padanya. Tapi sampai diberi hadiah dan sebangsanya, jujur Rowoon belum dan gak akan pernah membiarkan hal menjadi sejauh itu.

QuerenciaWhere stories live. Discover now