[4] Satu Hari

399 99 20
                                    

"Oh my darling i love you ..."

Senandung kecil terus mengalun merdu dari bibir Dhika. Pandangannya terkunci penuh kagum pada pria yang baru menuruni ninja birunya. Dhika hanya melihat dari pembatas gedungnya, mengintip pria itu dari parkiran lokal pengetahuan alam.

"Ich liebe dich, Juno!"

Dhika memberikan ciuman jauh ketika pria itu sudah menuju koridor gedung. Langkah tegapnya tidak luput dari pandangan Dhika.

Gadis itu tidak sadar saat bel nyaring berbunyi dan seluruh murid berbondong-bondong memasuki kelas. Dhika masih nyaman dalam khayalan indah. Ia meraba jantung yang kian berdetak tak karuan. "Enggak nyesel aku ikut Papa pulang ke Indonesia."

Dhika memejamkan kedua mata menikmati semilir angin, menerpa permukaan wajahnya dengan rambut ia biarkan terurai.

Tiba-tiba Dhika merasa terusik dengan sebuah tangan bertengger di bahu. Ia dengan santai menyingkirkan tangan tersebut dan tetap memejamkan mata.

"Tunggu Bev, jangan ganggu." ucapnya ketika tangan itu kembali bertengger. "Ya ampun, bentar lagi Bevin." Dhika mulai kesal dan menoleh cepat saat deheman kuat menyadarkannya.

Dhika terlonjak. "Ms?!" Dhika celingukan menatap sekitar dan semua orang tidak terlihat di sana. Apalagi orang yang ia kira Bevin pun salah.

"Mau jadi siswi badung?" gadis itu menggeleng cepat.

Wanita bertubuh mungil dengan tatapan tajam beserta rambut disanggul menujuk ke arah koridor. "Kalau kamu lupa, di 11 IPS 1 sepuluh menit lagi saya masuk." ucapnya penuh penekanan.

"Saya permisi sekarang Ms," balasnya langsung ngibrit meninggalkan Ms-terkiller di lokal sosial.

Ms menggeleng, "Dasar anak muda."

Sempat tertangkap olehnya apa yang diperhatikan Dhika dan ia cukup memaklumi. Namun bukan waktu yang tepat untuk melamun, apalagi sendirian. Ia tidak ingin mendengar salah satu muridnya mengalami hal yang memalukan.

"Selamat pagi, Bu Feren."

Secepat kilat Feren membenarkan tata rambutnya saat lelaki bertubuh tegap itu menyapa. "Selamat pagi juga, Pak Theo." suaranya terdengar begitu lembut kepada lelaki duda tampan mengajar menjadi guru musik itu.

"Pak Theo baru datang?"

"Iya, Bu. Habis nganterin anak sekolah." seulas senyum manis sudah membuat Feren kejang-kejang.

Wanita itu ber-oh ria dengan tenang. "Bapak enggak mau cari pendamping buat kedua anak Bapak? Kasihan lho, anak Bapak masih pada TK, butuh peran pengganti untuk membimbing mereka."

Theo terkekeh. "Untuk sekarang saya mau fokus jagain anak, Bu. Kedua anak saya adalah sumber kekuatan saya selama ini."

"Bagus, tuh!"

Itu bukan suara dari wanita yang tengah menggoda duda guru musik di depannya. Melainkan dari seorang siswi yang membuatnya cengo karena sedari tadi percapakannya didengar.

"Saya setuju banget sama ucapan Bapak." Theo tersenyum simpul saat Dhika dengan menggebu-gebu mengutarakan pernyataannya.

"Saya memang masih muda Pak, bahkan belum masuk pada fase berkomitmen. Tapi, jika salah satu pasangan hidup telah meninggalkan dunia, alangkah baiknya jika orang itu lebih menjaga buah hati mereka. Mendidik dan membesarkan dengan peran ganda."

Feren mendengkus sebal ketika mendengar kalimat selanjutnya yang akan ia ingat dengan siswi satu ini. "Dapat istri kedua yang pada kenyataannya menjadi Ibu tiri bagi anak-anak Bapak enggak baik Pak. Saya takut, justru dengan hadirnya Ibu tiri bisa menyiksa buah hati Bapak dan Almarhumah."

GADIS INDIA KWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang