Bab Satu: Karma & Stranger (1) ✓

13.9K 901 35
                                    

**

Bertemu dalam ruang yang gelap. Denganmu yang sudah enggan mengawalinya lagi, sedangkan aku baru sadar pernah dicintai dengan sepenuh hati.

**

Karma, teman hidup yang paling dihindari tiap manusia. Kita berharap bahwa karma tidak akan mampir dan mengetuk pintu rumah kita. Kita berharap bahwa semua yang kita lakukan pada orang lain, tidak akan berbalik kepada kita. Bahkan ketika kita berbuat jahat, ada harapan bahwa Tuhan mau memaafkan kita yang tidak suci ini tanpa perlu menggunakan karma sebagai bentuk penebus dosa.

Ini hidup.

Karma adalah bagian dari tiap kehidupan manusia.

Tidak terkecuali aku.

Karma mengentuk pintu rumahku, tanpa basa-basi. Kedatangannya tidak terduga, dan hatiku langsung menciut ketika menyadari bahwa karma telah menabrakan dirinya denganku. Semuanya tidak akan berjalan mudah dan aku sangat tahu fakta itu. Karma memang menanti waktu yang tepat untuk membuat diriku hancur, balasan dari apa yang kuperbuat di masa lalu. Berapa kali pun aku memikirkannya, aku memang sepantasnya mendapatkan ini. Akan tetapi, aku ini hanya manusia biasa, aku masih berharap karma mau membuka hatinya sedikit dan memberkatiku supaya aku tidak terlalu hancur.

Apakah itu mungkin?

Apakah karma mau sedikit membuka hatinya?

Aku percaya, karma itu berhati baik. Dia membalas perbuatan orang-orang jahat yang suka menyakiti manusia lainnya. Aku, juga masuk ke dalam hitungan. Meskipun butuh waktu tiga tahun dengan bantuan angin New York, aku menyadari itu, bahwa aku adalah bagian dari orang-orang jahat.

Terlambat menyadari bahwa cinta seseorang begitu berharga. Terlambat menahan tangan itu, sampai dia benar-benar melangkah menjauh. Terlambat membalas perasaannya, sampai kedua mata itu tidak lagi memandang ke arahku. Terlambat mencintainya, sampai aku hanya bisa berdiri lesu di sini dengan mata berair.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Wajahku yang semula dipenuhi riasan, kini malah menunjukan ekspresi sendu. Aku baru saja mencuci wajah di wastafel. Ada banyak 'kemungkinan' yang kupikirkan. Lebih baik bila aku melarikan diri, lalu membuat banyak yang mengacungkan jari tengah mereka padaku, kan?

Namun, kakiku tidak bisa lari.

Aku terjebak di sini dengan perasaan yang tak bisa kugenggam secara utuh.

"Hei." Perempuan dengan rambut panjang sepinggang menyiku lenganku lumayan kuat, sedikit menimbulkan keterkejutan. Lalu, dia tersenyum manis dan mencuci telapak tangannya di wastafel sebelahku. Kami melakukan kontak mata melalui pantulan cermin. "Lo lama banget, Cer. Anak-anak nungguin lo, tuh! Mau potong kue."

"Kenapa harus nungguin gue?" tanyaku, lalu mengeringkan wajah basahku dengan tisu. Aku melirik perempuan itu, Adinda, sahabat akrabku sejak masih berseragam putih abu-abu sampai masuk kuliah di jurusan dan universitas yang sama. Kami cukup beruntung, tak perlu melalui drama perpisahan sampai tersedu-sedu. Kami tak terpisahkan, kecuali fakta bahwa aku harus meninggalkannya ke New York. Dua bulan pertama, dia terus-terusan meneleponku seperti tak ada hari esok. Lalu, "Ada atau nggak adanya gue, nggak akan memengaruhi apa pun, Din. Julia yang akan dapat suapan pertama, kan? Julia yang jadi pusat dunia malam ini."

Adinda menatapku sekilas, lalu dia tersenyum kecut. "Lo nggak boleh lupa, ya. Siapa yang jadi pacar si pemeran utama malam ini? Wajar Julia jadi pusat dunia, karena dia adalah kekasih pemeran utama... And, you're only considered his friend."

Only friend.

"Friend," ulangku, bersamaan dengan rasa nyeri merasuki kalbu.

Adinda menambahkan setelah meloloskan helaan napas panjang, "Even, I doubt that Dikara still wants to see you that way after what happened in the college."

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now