Bab Satu: Karma & Stranger (3) ✓

5K 640 19
                                    

**


"Hei, Cerelia."

Tepukan pelan di bahu membuatku menoleh. Dengan jarak 30 sentimeter di depan wajahku, aku bisa melihat kreatur Tuhan yang benar-benar bagus. Tidak berubah sama sekali, Kak Rakai, yang selalu tampan dengan kulit eksotis. Potongan rambutnya selalu rapi sejak dulu, karena dia rajin ke tukang cukur. Tidak terlalu gondrong, tapi juga tidak terlalu pendek.

"Hai...?" balasku, sedikit ling-lung. Jaraknya terlalu berbahaya.

Kak Rakai tersenyum manis sambil menatapku.

"Kenapa, Kak?" tanyaku untuk mencari jawaban. Dia mau apa?

"Boleh ikut gue sebentar? Ada yang mau ketemu," katanya lembut.

Aah, ternyata belum berubah. Kata-kata yang diucapkan dari bibir Kak Rakai selalu bisa menghipnotis kaum hawa. Suaranya yang halus dan lembut. Tadi kami sempat berbasa-basi sebentar, tapi hanya untuk menyapa. Tadi juga formasinya belum lengkap. Sepertinya, aku tahu ke mana arah obrolan ini.

Orang itu sudah datang.

Kak Rakai menatap ke arah teman-temanku dengan senyuman mautnya dan bertanya, "Nggak apa-apa kalau gue pinjem Cerelia sebentar, kan, ya? Nggak akan diapa-apakan, kok. Boleh, ya?"

Mereka semua saling beradu pandang, kemudian mengangguk hampir bersamaan.

"Boleh, apa boleh?" tambahnya lagi, disertai tawa renyah. "Yes or yes, nih?"

Teman-temanku kembali mengangguk, tampak lebih santai dari sebelumnya. Mereka memberiku senyuman yang menenangkan—tentunya, Dikara tidak masuk perhitungan. Lalu, Adinda menepuk bahuku seolah memberiku kekuatan. Kalau memang benar seperti apa yang diceritakan oleh Maura dan Linda, maka aku akan bertemu dia di sini. Kenapa harus tempat ini? Apa dia sengaja datang karena tahu aku ada di sini? Mungkin juga, dia memang berniat untuk datang ke perayaan ulang tahun Dikara tanpa memikirkan akan bertemu denganku.

Aah, dia masih saja misterius.

Kak Rakai membawaku ke meja yang tak jauh dari meja teman-temanku, tapi tetap terasa private. Bar yang disewa oleh Julia memiliki suasana yang nyaman, seandainya aku juga bisa merasakan itu. Sayangnya, terlalu banyak kecemasan yang membumbung bahkan sebelum aku sampai di sini.

Kehadiranku langsung menjadi pusat perhatian. Tidak ada perempuan di sini, hanya ada lima orang laki-laki yang memang sudah sangat kukenali. Kalian pasti mengenal teman-teman pacar kalian, kan? Saat kami berpacaran, dia mengenalkanku dengan mereka. Dan, ternyata Kak Rakai adalah salah satu temannya. Kebetulan, teman-temannya memang tidak berasal dari jurusan yang sama. Seperti halnya Kak Rakai yang merupakan anak Teknik Sipil, sementara mantan kekasihku berasal dari jurusan Arsitektur—sama denganku.

Aku tidak pernah bertanya bagaimana caranya mereka semua bisa membentuk sebuah kelompok pertemanan dari jurusan-jurusan yang berbeda. Namun, kata Adinda, mahasiswa-mahasiswa keren selalu nongkrong di salah satu kafe dekat kampus. Kalau dipikirkan lagi, kelompok ini memang berisi laki-laki berkharisma semua. Limited edition pula, tidak ada duanya. Pantas penggemarnya juga berasal dari banyak fakultas.

Dia menarik perhatianku segera setelah aku dipersilakan duduk di antara mereka. Kami tidak membahas masa lalu, justru mereka banyak bertanya soal New York kepadaku. Sesekali, ada obrolan yang tidak bisa kupahami tapi cukup lucu untuk ditertawakan. Aah, aku jadi rindu mengobrol seperti ini. Dulu saat masih dengannya, aku sering menghabiskan waktu bersama mereka. Kalau sedang malam Minggu, pacar Kak Rakai dan Kak Bobby—salah satu temannya yang kalau bicara suaranya bisa naik 3 oktaf—akan bergabung. Bagus, aku tidak sendirian jadi bisa mengobrol soal topik perempuan.

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now