Epilog: Sweetheart ✓

4.6K 437 36
                                    

**

Banyak yang menyeramkan. Banyak yang melukai. Banyak yang tidak tahu cara menjaga dan mencintai.

**

Jantungku berdebar keras sambil melangkah pelan menuju ke depan gerbang kos. Ini sudah hampir pukul sebelas malam, dan sebenarnya aku sedang menyelesaikan revisi tugas akhir. Namun, panggilan dari seseorang membuatku tidak bisa mengabaikannya.

Aku lemah dengan cerita sedih orang lain, meskipun aku tahu aku tidak cukup baik untuk melindungi orang lain. Mungkin, aku bisa menyelamatkan cerita sedih mereka dengan menjadi pendengar yang baik. Ada banyak cara baik untuk memperlakukan orang lain, kan? Dan, sepertinya aku harus melakukannya malam ini.

"Kak Reo?"

Aku melihat mobil hitam yang parkir di depan kosku. Seseorang yang memanggilku melalui sambungan telepon turun dari balik kemudi, lalu dia memberiku senyuman tipis. Dia berjalan mendekat.

Aku menghela napas panjang melihat penampilannya yang berantakan. Lalu, aku pun mendekat. "Ada masalah apa lagi, Kak? Katanya, janji sama aku nggak mau mabuk-mabukan lagi."

Kak Reo tidak menjawab apa-apa, tapi justru menarik tubuhku ke dekapannya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tidak beraturan. Benar-benar cepat sekali, sampai detak jantungnya membuatku takut. Aroma alkohol yang menempel di jaket kulitnya juga membuatku sedikit mual.

"Kak, cerita aja dulu," pintaku, karena kurang nyaman. "Aku masih harus ngerjain revisi, nih. Coba cerita dulu masalahnya, sampai kamu mabuk kayak gini."

Dia tidak segera membuka mulut, justru mengusap-usap punggungku dan mencium aroma tubuhku dengan merapatkan wajahnya ke ceruk leherku. Kebetulan, aku mengikat rambutku tinggi-tinggi jadi area ceruk leherku bisa terlihat jelas olehnya. Hidungnya itu dia gesekan ke ceruk leher, menyalurkan sensasi geli dan kurang nyaman.

"Kak, aku nggak bilang sama Kak Brian kalau kamu suka curhat ke aku, lho." Aku memejamkan mata sejenak sambil merangkai kata-kata. "Kalau dia tahu kamu suka chat aku malam-malam kayak gini, dia bisa salah paham. Aku cuma mau jadi teman yang baik buat kamu, jadi... jangan kayak gini. Ya? Please?"

Hubungan kami tidak lebih dari sekadar teman cerita. Sifat alamiku sebagai seorang pendengar mengantarkanku kepada sosok Kak Reo, yang dunianya dipenuhi banyak hal. Dia bilang dia butuh teman, jadi aku memberikan waktuku untuknya. Namun, tidak lebih dari itu karena aku adalah kekasih sahabatnya. Aku berusaha melindunginya karena dia sudah kuanggap sebagai kakak laki-laki, sama seperti sahabat pacarku yang lain; Kak Rakai, Kak Andrian, Kak Sa'id, dan Kak Bobby.

Tidak ada bedanya, aku peduli pada mereka.

Sayangnya, untuk kasus yang satu ini, Kak Brian tidak tahu apa-apa. Aku ingin sekali jujur pada pacarku bahwa salah satu sahabatnya selalu menghubungiku tiap malam, tapi aku terlalu pengecut, takut mereka akan salah paham dan bertengkar.

"I need you," katanya, lirih.

Aku mengembuskan napas berat, lalu berusaha mendorong badannya supaya tidak terlalu rapat. Sungguh, ini tidak nyaman. Kami berdiri di depan indekosku hampir tengah malam. Bagaimana kalau ada yang melihat? Pikiran orang bisa bermacam-macam.

"Kita sudah pernah bahas ini beberapa kali, Kak. Jangan kayak gini lagi. Kan, aku sudah janji mau jadi temen ceritamu kalau ada masalah, tapi jangan kayak gini. Nggak enak kalau Kak Brian tahu. Dia juga sahabat kamu."

"Tapi, gue nggak peduli."

Sepertinya, dia benar-benar sudah mabuk.

"Kak!" Aku kembali mendorong tubuhnya yang jelas lebih kuat dari tubuhku. Aah, aku benar-benar mau menangis. "Kamu pulang aja, Kak. Nanti tambah mabuk. Aku nggak bisa merawat, soalnya aku ada deadline revisi."

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now