Bab Tiga: Senja Merah Jambu (4) ✓

3.5K 537 30
                                    

**

Ada banyak tempat yang melayang-layang di atas kepalaku, seolah berpihak padaku untuk menghilang dari pandangan lelaki itu. Kalau saja Doraemon dikirimkan untuk manusia sepertiku, pasti aku tidak perlu kesulitan memikirkan cara paling cepat untuk menghilang.

Seperti debu, kuingin terbawa angin dengan ringannya.

Kakiku beku, ketika Dikara tiba-tiba mendongakan kepala sehingga manik mata kami bertemu. Tidak ada senyuman di wajah itu, cenderung ekspresi datar—tapi, dia juga terlihat seperti singa yang kelaparan. Aku menyerah dan menghampirinya.

"Kok, baru pulang?" tanya dia, terdengar dingin menusuk rusuk. "Jarak apartemen lo sama mie ayam Pak Teja nggak jauh-jauh banget, Cer. Pasti dibawa ke mana-mana. Sudah gue duga, kalian nggak mungkin cuma sekadar pulang bareng."

"Hm," jawabku singkat. Aku mengabaikan kehadirannya dan berjalan mendekat ke pintu apartemen, kemudian menekan beberapa nomor PIN untuk membukanya. Lalu, pintu terbuka. Setelah itu, aku baru menoleh kepadanya. "Lo mau ngomong apa, Dik? Gue capek, gue mau masuk."

"Gue juga mau masuk," sahutnya, enteng.

Lucu sekali, karena Dikara justru menerobos masuk ke dalam apartemenku. Dengan entengnya, dia berjalan melewatiku yang masih mematung di depan pintu. Bersama helaan napas berat, aku pun mengikutinya karena malas berdebat. Dikara tidak banyak omong dan dia langsung menjatuhkan dirinya ke sofa ruang tamu.

"Apartemen lo bagus juga," katanya. Dia mendongak menatap langit-langit, kemudian mengendus seperti kucing. "Wangi, kayak lo."

"Makasih."

Aku berjalan ke dapur dengan wajah lelah. Kalau kalian jadi aku, apa kalian tidak lelah? Satu hari—bahkan, ini belum genap dua puluh empat jam—hatiku terombang-ambing ke segala arah. Jantungku berdegup cepat. Dadaku sesak.

Dikara rupanya menyusulku. Dia berdiri tak jauh dariku untuk melihat-lihat rak piring dan gelas. Dia suka kerapian, jadi beruntung karena aku sudah belajar menjadi rapi. Selama di New York, aku memang mengubah kebiasaanku sedikit demi sedikit. Karena aku tinggal sendirian, jadi harus mandiri. Kalau tidak begitu, ya bisa hancur kehidupanku di New York. Lalu, aku membuka kulkas untuk mengambil sirop melon dari dalam sana. Kalian pasti tahu sirop legendaris yang iklannya hit menjelang bulan Ramadan.

Dengan tenang, aku menuangkan sirop ke dalam dua gelas. Lalu, aku menambahkan air dan mengaduknya dengan sendok kecil dari bahan kayu yang biasa aku gunakan. Sendok yang kuambil dari rumah Mbah di Yogyakarta. Tenang, aku sudah izin. Lagian, ada selusin sendok kayu di sana.

"Cerry," panggilnya, sambil mengamati gerak-gerikku.

"Hm?"

"Lo mampir ke mana sama Kak Brian?"

"Kenapa lo tanya-tanya?" Aku berusaha terlihat santai, walaupun tanganku ini sudah memegang gelas dengan kuat. Bisa saja aku memecahkannya. "Lo yang tadi memberikan gue ke Kak Brian, kan? Lo seharusnya percaya sama dia dan gue bukan tanggung-jawab lo. Toh, gue bener-bener dianter pulang sama dia. Nih, gue di sini, di depan lo."

Dikara mendengus. "Gue merasa bersalah aja, makanya gue ke sini buat memastikan lo bener-bener dianter pulang sama dia."

Aku tersenyum sarkas. "Oh, masa?"

"Gue peduli, tapi respon lo malah nyebelin!"

"Sok peduli," cibirku. Aku mendorong segelas sirop ke hadapannya, "Nih, minum dulu. Lo mau ngomong apa? Nggak ada, kan? Cuma mau memastikan gue sampai apartemen aja, kan?"

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant