Bab Lima: Getting Closer (1) ✓

3.5K 493 25
                                    

**

Lupa caranya membahagiakan diri sendiri, sampai harus mengikutsertakan orang lain untuk bisa dibahagiakan.

**

Tanganku sibuk mencuci piring-piring selesai makan malam. Bukan ditempatku, tapi tempat Dikara. Dia benar-benar menjemputku ke rumahnya dan otakku belum bisa mencerna semuanya. Kami makan malam bersama, setelah itu aku memutuskan membantu mama di dapur.

Sudah kubilang, berikan aku satu kesempatan lagi.

Hanya, hari ini saja.

"Sudah selesai, Cer?" tanya mama dari belakangku, yang sedang memasukan sayuran ke dalam kulkas dan menatanya dengan rapi. "Dikara sudah nunggu kamu di kamarnya, tuh. Biar dicuci Danendra aja, kamu langsung ke sana."

"Nggak apa-apa, Ma." Aku tersenyum. Aku meletakan piring terakhir di rak piring, dan, "Ini sudah selesai, kok. Cherry ke mana, ya, Ma?"

Setelah makan malam tadi, aku kehilangan gadis remaja itu. Dia sangat ramai tadi, menceritakan banyak hal tentang dunia putih abu-abunya sampai dunia yang menghiburnya; dance kover K-Pop. Bukannya mengunyah nasi, dia justru banyak mengunyah cerita yang menyenangkan telingaku. Tak apa, dia mengurangi kegugupanku. Berkat Cherry juga, meja makan menjadi lebih hidup yang sebelumnya terasa canggung bagiku.

Benar, memulai hal jahat juga tetap menakutkan. Tetap terasa tidak benar, tapi juga tetap kulanjutkan.

Hanya... hari ini saja.

"Cherry tadi langsung pergi habis makan malam," jawab Mama Puspa, kemudian berpikir sejenak, lalu menambahkan, "Dia sama temen-temennya latihan dance sampai malem. Mau ikut kontes dance K-Pop. Yah, suka-suka dia asalkan positif. Nanti pulangnya dijemput Papa, sekalian pulang kerja dari rumah sakit."

Aku menganggukan kepala dan mencuci tangan. Papa bekerja di sebuah rumah sakit besar sebagai perawat. Biasanya, papa pulang sekitar jam sembilan atau sepuluh malam. Aku sudah cukup terbiasa, karena aku dulu sering main ke rumah Dikara--rumah yang dulu, yang masih berada di kawasan pertokoan. Rumah itu jauh lebih nyaman, karena dekat kalau mau membeli apa-apa dari toko. Tinggal pilih, kan tokonya banyak.

Awalnya papa adalah seseorang yang sangat aku segani--dan takuti karena ekspresi wajahnya seperti sedang marah. Namun, seiring berjalannya waktu, papa bisa membuatku nyaman dengan leluconnya yang sedikit garing. Papa pernah bilang, dia mau menunggu hari di mana aku menjadi menantunya. Dan, aku yakin kalau itu hanya salah satu leluconnya saja. Aah, aku jadi terbang terlalu jauh. Memori-memori itu kembali lagi, merasukiku sampai aku lupa diri. Meskipun sudah cukup dekat, aku tetap tidak melupakan sopan-santunku. Sampai sekarang, aku masih segan dan harus tahu batasan.

"Kak Cer!" panggil Danendra. Dia mengambil air minum dari kulkas.

"Hm?" Aku mengangkat alis. "Kenapa, Dan? Butuh bantuan sama tugas kuliahnya?"

Sejak dulu, Danendra selalu rajin meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Tidak berbeda dengan sekarang. Saat aku baru datang tadi setelah dijemput oleh Dikara, dia langsung menghampiriku dan mengatakan tentang kesulitannya menyusun kata-kata untuk tugas kuliahnya. Dia masih seperti adik kecil, meskipun tubuhnya jangkung yang jelas membuatku tampak seperti kurcaci di sebelahnya. Omong-omong, dia juga lebih tinggi daripada kakaknya, Dikara. Tiap kali aku melihatnya, tubuhnya seperti terbentuk dari 80% kaki.

Hidup kadang memang tidak adil, ya? Di saat pertumbuhanku berhenti di angka 158 sentimeter, ada orang lain yang pertumbuhannya seperti tidak berhenti. Kujamin, Danendra bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Mau sampai mana? Sampai kepalanya menyentuh batas pintu?

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now