Bab Satu: Karma & Stranger (2) ✓

6.1K 658 25
                                    

**

Setelah berfoto tadi, kami semua sudah kembali duduk di kursi masing-masing. Ada banyak tamu yang datang, bahkan beberapa di antaranya tidak kukenali. Kalau kata Julia, ada teman-teman SMP dan SMA Dikara yang memang tidak terlalu kukenal. Ada juga senior-senior kami yang datang. Aku sudah menyempatkan untuk menyapa mereka saat baru datang tadi dan mereka tampak terkejut ketika melihatku. Ya, sudah lama. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Aku merasa seperti baru keluar dari gua karena respon mereka yang heboh.

"Aah, lo mau kasih tahu Cerry soal yang tadi, kan?" sahut Maura, perempuan yang memiliki sorot wajah dingin, namun dia bisa menjaga teman-temannya dengan baik. Maura juga menjagaku dengan baik saat kami masih kuliah dulu. Dia menatap ke arahku, lalu, "Tadi kita berdua ngobrol sama Kak Rakai pas lo ke toilet."

Rakaitama Keenan, senior yang dulu paling dekat denganku karena kami sama-sama ikut organisasi BEM. Dia pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Ketua, walaupun berakhir di urutan kedua. Kegagalannya memberi rasa kecewa ke beberapa pihak, karena dia memang pantas untuk mendapat predikat itu. Namun, tak apa-apa. Tidak menjadi Wakil Ketua, bukan berarti tidak berkontribusi untuk BEM, kan? Intinya, dia selalu keren di mataku.

Saat pertama bertemu denganku, dia mengatakan sesuatu yang tidak pernah kuduga. Waktu itu, kami berdua baru pulang rapat BEM dan hujan turun dengan intensitas tinggi. Aku tidak membawa payung, jadi aku hanya menunggu seseorang menjemput. Kalian tidak salah tebak, saat itu Dikara adalah pahlawanku dalam segala hal.

Kak Rakai yang melihatku dijemput oleh Dikara, tiba-tiba saja berkata: Jagain Cerry, dia kan perempuan jadi berharga. Dan, aku tidak tahu harus berkata apa ketika Dikara tiba-tiba tersenyum, lalu menggandengku masuk ke dalam mobilnya.

Sejak saat itu, aku dan Kak Rakai menjadi sangat dekat. Kami menempel dan tidak sungkan untuk membocorkan rahasia masing-masing. Kami berusaha menjadi pendengar yang baik untuk satu sama lain. Namun, kami tidak berada dalam hubungan yang romantis. Hanya semacam adik-kakak. Dia bilang, dia mau punya adik perempuan sejak dulu dan aku baik-baik saja dengan status itu. Dia anak tunggal, mungkin merasa kesepian. Toh, dia sudah punya pacar. Namanya Kak Jeanne Arum, perempuan yang sudah dipacarinya selama lebih dari sembilan tahun. Kak Rakai sempurna ditambah dengan fakta betapa setianya dia.

Memories, sekali lagi aku hanya bisa mengembuskan napas kasar.

Dikara bergabung bersama kami setelah tadi pamit mau ke kamar mandi. Dia duduk di sebelah Julia, lalu ikut mendengarkan cerita Linda dan Maura. Dua perempuan dengan kepribadian berbeda itu menatap ke arahku, karena aku adalah salah satu pemeran utama di dalam cerita mereka.

"Sebentar! Siapa yang mau datang ke sini?!" Adinda membulatkan mata, kemudian menggelengkan kepala dengan tidak yakin. "Dia memang tukang telat, ya! Ckck! Jago banget mempertahankan gelarnya. Inget nggak pas Cerry minta dijemput di stasiun jam tujuh pagi? Cerry waktu itu baru balik dari Jogja kan kunjungan tugas dari BEM, maklum masih anak bawang, eh si tukang telat itu dateng jam sembilan karena bangun kesiangan. Sebuah alasan klise, karena kalau dia benar-benar niat, dia pasti bisa memanfaatkan alarm di ponselnya. Tuh kan! Gue ngomel. Beneran, deh! Gue mau satu kesempatan di mana gue bisa merobohkan label senior-junior, jadi gue bisa tempeleng kepalanya sampai dia puyeng dan memohon ampuuun!"

Ed menggelengkan kepala, sepertinya sudah menyerah dengan tingkah Adinda yang sejak dulu memang sudah gila. Lalu, lelaki itu justru menempeleng kepala Adinda. "Jangan jadi psycho, Din. Gue yang ngeri, takut diam-diam dimutilasi kalau bikin lo sakit hati."

Yang lain setuju, kemudian pura-pura ketakutan untuk menggoda Adinda.

Adinda mendesis sebal, "Lagian, dia tuh cowok paling nggak bertanggung-jawab!"

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now