Bab Sebelas: Fearless ✓

3.7K 448 28
                                    

**

Di Bandung, kau bisa temukan semua; yang cintanya sunyi, sampai berhasil saling memiliki.

**

"Ini nggak apa-apa minta mereka ngumpulin kayu bakar buat api unggun?" tanyaku, sembari menolehkan kepala ke arah Dikara yang sibuk memainkan jari-jari tanganku. "Kita malah duduk santai di sini liat sunset. Dinda sama Ed pasti protes kalau tahu, Dik," jelasku, kemudian tertawa kecil.

Dikara ikut tertawa. "Mereka sudah tahu, kok. Katanya, nggak apa-apa soalnya kita lagi honeymoon."

"Siapa bilang kita lagi honeymoon, hm?" tanyaku, menggodanya. Aku menatap manik matanya dan dia juga menatapku. Lalu, tangannya mengacak rambutku gemas. "Aah, Dik!"

"Be a good girl," ucapnya, kemudian merapikan helai-helai rambutku. Dia tersenyum manis. "Kapan aku jatuh cinta sama kamu, ya? Nggak inget, tapi rasanya masih sama. Aku aja yang bodoh dan nggak bisa lepas dari kamu, atau kamu pakai pelet, ya? Ngaku! Jantung aku sampai sekarang masih berdebar buat kamu. Ini aneh, Cer."

Aku mengangkat sebelah alis. Lalu, "Memangnya kamu mau jantungmu berdebar buat siapa?"

Dia melebarkan mata dan menggeleng mantap. "Nggak buat siapa-siapa! Kamu sudah cukup. Nggak mau yang lain lagi."

Aku memutar bola mataku. "Geli, mau tenggelam di rawa-rawa aja."

Dikara terkekeh dan mengecup keningku singkat. "Ini aku tulus, lho."

"Tulus lagi nyanyi, nggak ada di sini."

"Jangan tenggelam di rawa-rawa, ya."

Aku mengulum bibir untuk menahan tawa. Lalu, aku menyandarkan kepala di bahu Dikara yang bidang. Kami berdua menatap lurus ke depan, menikmati warna-warna cantik dari matahati terbenam hari ini. Perpaduan warna oranye dan merah mudanya sangat kental. Aku suka sekali.

"Mau ngomongin masa lalu, hm?" tanya dia, tiba-tiba. Dikara melirikku dengan ekor mata, lalu dia tersenyum tipis.

"Kamu duluan aja," jawabku, sambil mengangkat kepalaku dari bahunya. Lalu, aku juga ikut tersenyum tipis. "Kayaknya, kamu punya lebih banyak hal yang belum kamu bilang ke aku."

Dikara tertawa renyah. "Luka lama, Cer."

"Maaf," ucapku, tulus.

Dikara mengulurkan tangannya. Dia mengusap wajahku lembut dari mulai dahi, pipi, sampai ke dagu. "No need to say sorry."

"Did I hurt you really bad?"

"Yah, setelah kupikir-pikir lagi... Semua ini memang berat buat dijalani, tapi berakhir sesuai harapan aku." Dikara menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia menyangga tubuhnya dengan kedua tangan, lalu condong ke belakang. Dia menatapku, dan berkata, "Sesuatu yang indah pasti butuh waktu. Something beautiful always takes time. Bagus, kamu butuh waktu buat menyadari semua ini. Kamu memikirkan perasaan kamu ke aku dengan serius. Jadi... kamu nggak nyesel, kan?"

Aku menggeleng. "I don't have a reason to turning back."

"I love you."

"Kita bisa stop obrolan menye-menye ini?" tanyaku, sambil memukul bahunya pelan.

Dikara terkekeh, sambil mengangkat tubuhnya. Dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri, lalu melingkarkan lengannya ke pinggangku. Kami berjalan kembali ke area perkemahan.

Senja semakin turun, langitnya mulai gelap. Namun, dengan dia, semuanya baik-baik saja. Dalam gelap malam pun, aku percaya masih bisa bersinar. Karena, Dikara adalah pintu keluar. Dia menawarkan cahaya, ketika aku tenggelam di dasar kegelapan.

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now