Bab Empat: Love Maze (2) ✓

3.4K 527 63
                                    

**

Ada yang berbeda hari ini. Aku duduk bersama Maura, sementara dia tiba-tiba duduk jauh dariku. Kelas hari ini mengacaukan pikiranku, tapi tingkah lakunya semakin aneh saja. Dia yang selalu ada di dekatku, kini justru menjauh. Dia duduk di dekat Linda, dan mereka mengobrol berdua.

Kalian tahu, aku tidak cemburu. Oh, yang benar saja!

Kelas selesai satu jam kemudian, aku keluar bersama Maura dan Adinda. Kami riuh ketika melewati lorong karena cerita Maura yang tampak kesal. Iya, Maura menyukai Ed tapi ada teman kami lainnya yang menyukainya juga. Kasus klise, cinta segitiga.

Kami bertiga pun berjalan keluar kampus, sudah janji mau menikmati mie ayam Pak Teja. Mataku menatap sosok yang tidak asing. Dia berjalan terburu-buru dengan tas hitam tersampir di bahu. Oh, aku bahkan tidak melihatnya keluar tadi. Namun, karena dia duduk di barisan depan bersama Linda, besar kemungkinan dia keluar paling awal.

"Oi, Dikara!" teriak Adinda. "Bareng aja. Lo mau makan ke tempat Pak Teja, kan?"

Dikara menolehkan kepalanya. Matanya menangkap manik mataku, meskipun Adinda yang memanggil namanya. "Nggak!" jawabnya, dingin.

"Lo mau ke mana?" tanya Maura, penasaran. "Nih, si Cerry mau makan mie ayam."

"Urusan Cerry, bukan urusan gue," balasnya. Lalu, Dikara mengembuskan napas panjang. Dia menatapku dengan ragu-ragu, sebelum berkata, "Tadi gue ketemu Kak Brian, Cer. Katanya lo diminta nunggu dia selesai praktikum."

"Cieeeee..." Adinda menyiku lenganku. "Jadi nge-date?"

"Lo nge-date sama Kak Brian?" Maura tampak antusias. "Kok, lo nggak cerita?"

Aku menarik seulas senyum. "Iya, hari Rabu kemarin."

"Ini berarti date yang kedua?" tanya Maura lagi, semakin antusias. "Ih, gelo! Nggak bertepuk sebelah tangan, Cer. Congrats!"

Aku hanya memberikan senyum manis, lalu menatap Dikara yang berjalan menjauh. Dia tidak pergi ke tempat Pak Teja, karena arahnya berbeda. Dengan cepat, aku berpamitan kepada Adinda dan Maura lalu menyusul lelaki itu. Langkahnya cepat sekali.

"Kamandaka Julian Dikara, tunggu!" teriakku. Langkahnya terlalu cepat.

Dikara menoleh. "Apa?" tanya dia, tak acuh.

Aku melihat ke kanan dan ke kiri untuk menyeberang, karena Dikara ada di seberang jalan. Lalu, dengan kekuatan penuh, aku langsung berlari menghampirinya. Dikara menarik lenganku, saat ada mobil pick up yang akan melintas. Aah, pandanganku buram. Dari mana asalnya mobil pick up itu? Tiba-tiba muncul dari pertigaan.

"Apa?" Dia bertanya lagi, dengan tangan masih memegang lenganku. "Gue buru-buru, ada praktikum habis ini. Lo praktikumnya besok, kan?"

Aku mengangguk. Setelah menghela napas, aku berkata, "Dik, gue mau ngomong."

"Ini sudah ngomong, Cer."

"Ih! Gue serius." Aku cemberut, lalu memukul dada Dikara. "Kenapa lo menjauh? Gue buat salah apa sama lo, Dik? Maaf kalau gue nggak sengaja buat lo marah. Gue nggak berniat untuk buat lo marah, atau menyakiti lo."

"Lo ada niat, Cer." Dikara menatap mataku. "Lo jelas-jelas ada niat menyakiti gue. Bukannya lo duluan yang menjauh, hm? Terlalu kentara, lo nggak ahli."

Dikara mendongakan kepalanya dan rintik-rintik hujan mulai turun. Dia mendesah, lalu dia melepas hoodie hitam yang dipakainya dan dia berikan padaku. Aku menerimanya, seperti biasa. Dia tidak banyak omong, tapi dia memberiku kode untuk mengikutinya.

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now