Bab Dua: High Hopes (2) ✓

3.9K 643 8
                                    

**

Ponselku berdering nyaring. Lagu Young Forever-nya BTS, grup laki-laki asal Korea Selatan itu. Ya, siapa yang tidak tahu BTS di era sekarang ini? Grup laki-laki beranggotakan tujuh orang berbakat. Coba tebak, siapa anggota favoritku? Dia berkulit pucat, yang selalu membanggakan tanah kelahirannya, Daegu.

Lagu ini bukan nada dering di ponselku, melainkan alarm. Aku benar-benar tertidur di ruang tamu tanpa selimut. Dress-ku berantakan, juga rambutku yang mengembang. Aku mematikan alarm di ponsel, lalu menggeliat pelan. Aah, tulangku benar-benar remuk.

Aku berhasil melewati malam yang panjang.

Setelah itu, aku mengecek kalender. Aku suka tidak ingat tanggal. Namun, kemarin adalah ulang tahun Dikara jadi... hari ini adalah tanggal 2 Februari. Wah, hari berlalu begitu cepat saat tubuhku dibawa kabur ke alam persembunyian—iya, alam untuk sembunyi dari realita. Aku mengaktifkan data seluler di ponselku, lalu pesan-pesan mulai menyerang dengan ganasnya.

Ponselku tidak berhenti berbunyi. Mataku yang belum sepenuhnya terbuka akhirnya membuatku harus mengangkat tubuh. Aku berjalan ke kamar mandi untuk sekadar mencuci muka dan menyikat gigi, sementara itu suara ponselku masih terus berbunyi. Ting, ting, ting, bunyi yang cukup menyenangkan untuk memulai hari. Banyaknya pesan yang masuk juga berbanding lurus dengan banyaknya orang yang peduli padaku. Mungkin, ada ratusan pesan. Ada dua pengirim yang bisa kupastikan, yaitu Adinda dan Linda yang semalam kujanjikan akan kuberi kabar, tapi aku justru ketiduran.

Aku lupa segalanya, ketika sofa seperti melambai-lambai padaku minta ditiduri.

Tak lama, aku kembali ke ruang tamu dan meraih ponselku. Posisiku sekarang adalah berdiri sambil menatap keluar balkon apartemen. Matahari sudah naik, aku terbangun pukul tujuh pagi. Bukan rekor baru, aku bahkan pernah bangun pukul sebelas siang. Kalian pasti terkejut, kan? Perempuan pemalas sepertiku mendapat beasiswa ke New York, dan bahkan lulus dari jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan dengan nilai hampir sempurna, 3,8. Tentunya, ada aspek pendukung lain. Aku memang pemalas dan suka tidur—salah satu cara untuk membuatku merasa aman, tapi aku cukup ambisius kalau dihadapkan dengan mimpi-mimpi. Oh ya, IQ-ku mencapai angka 150. Bukannya mau sombong, tapi akan sia-sia jika aku tidak memberitahukan hal ini kepada kalian.

Kita kan berteman.

Aku dan kalian yang membaca kisah ini.

Jangan ke mana-mana, ya? Aku masih butuh kalian sampai akhir. Jangan sampai nanti aku lupa diri dan terjebak bermain api. Pokoknya, kalian harus menjadi alarm bagiku. Jangan sampai aku mendalami karakter penjahatku, kemudian menculik Dikara untuk diriku sendiri.

Pesan-pesan yang berdatangan itu kubaca satu per satu. Tidak ada yang benar-benar menarik, hanya grup angkatan yang ramai dengan foto-foto aib. Bahkan, foto aibku juga ada. Kapan mereka mengambil fotoku yang tanpa ekspresi ini? Oh iya, aku kan memang tidak berpose. Aku terlalu gugup, sampai mengosongkan isi kepala. Ekspresiku tampak seperti mahasiswi akhir bulan yang hanya bisa makan mie instan, karena isi dompet sudah say bye-bye. Frustasi sekali. Lalu, ada foto yang kami ambil bersama-sama, saat aku berdiri di tengah antara Julia dan Dikara. Mukaku juga tanpa ekspresi, karena sibuk menetralkan perasaaanku sendiri. Puas merutuki diri sendiri karena tak ada satu pun foto bagus yang bisa kuunggah ke akunku sendiri, aku pun beralih membaca isi pesan dari Adinda. Tidak ada yang spesial, dia hanya khawatir dengan keadaanku. Aku terus membaca, sampai aku menemukan pesan Adinda yang membuat badanku menegang.

Dikara kecelakaan? Maksudnya... Dikara-ku? Oh, tidak! Maksudku... Dikara?

Jantungku memompa darah dengan cepat. Tanpa pikir panjang, aku segera melempar ponsel ke atas sofa dan bergegas ke kamar. Aku kehilangan isi pikiranku—lagi. Dengan cepat, aku segera bersiap-siap dan mengambil tas slempang hitam dari perusahaan ternama. Ini merupakan tas kesayanganku, karena aku membelinya dengan gaji pertamaku selama bekerja di New York. Dan juga, satu-satunya tas mahal yang ada di lemari pakaianku. Setelah itu, aku memasukan ponsel ke dalamnya.

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now