Bab Dua: High Hopes (1) ✓

4.5K 595 46
                                    

**

Satu kisah usang yang dibuka lagi di atas meja ini, dengan segala perasaan yang belum pudar.

**

Kepalaku pusing sekali, begitu aku sampai di apartemenku. Tadi rasanya tidak seperti sekarang, mungkin karena aku masih memenuhi dadaku dengan keangkuhan. Setelah sampai di dalam apartemenku yang gelap gulita, aku mulai merasakannya. Pembahasan tadi lumayan menguras tenaga. Namun, aku tetap bersyukur karena satu beban sudah diizinkan turun dari bahuku. Aku merasa lega, karena akhirnya aku dan Kak Brian bisa membicarakan masalah itu dan menyelesaikan semuanya. Meskipun ada sisa nyeri di dalam dada, tapi kuharap dia sungguh akan menjadi lelaki yang lebih bertanggung-jawab. Selama perjalanan pulang pun, kami bisa mengobrol dengan lebih santai, saling melempar tanya bagaimana kabar kami yang selama tiga tahun saling bisu dan tuli. Bahkan, dia mengantarku sampai ke lobi apartemen. Lalu, aku masuk ke dalam lift dan menekan angka dua puluh enam.

Tangan kiriku menyalakan lampu apartemen, sementara tangan kananku melempar tas slempang yang menggantung di pundak ke atas sofa. Dengan cepat, aku menjatuhkan diriku di sofa yang empuk.

Bahuku menjadi lebih ringan daripada saat aku meninggalkan apartemen ini tadi sore.

Aku hampir meragukan apa yang terjadi malam ini antara aku dan Kak Brian. Aku pernah berpikir, mungkin kami memang sudah 'selesai' sejak tiga tahun lalu, mungkin kami tidak perlu lagi saling bertemu dan berhadapan, mungkin kami memang sudah baik-baik saja. Namun, tentu saja, semua kemungkinan itu adalah kesalahan. Dan, aku sangat bangga dengan diriku karena berhasil menyelesaikan semua kesalahan itu.

Semoga kami tidak perlu merasa kesakitan lagi.

Selain karena pembahasan malam ini, pusing di kepalaku sepertinya juga disebabkan oleh efek dari udara dingin dan rambutku yang sedikit basah karena terkena air hujan. Jam dinding di apartemenku menunjukan pukul satu pagi. Letak apartemenku yang berada di pinggiran Kota Bandung membuat perjalanan kami terasa jauh. Atau, ini hanya efek ilusi. Bukan jaraknya yang jauh, tapi kepalaku yang melayang di udara dan membawaku terjebak ke dimensi lain—dimensi di mana aku tidak ingin membuka mataku.

Bandung mulai hening. Aku juga hening.

Satu masalah selesai, tapi masih ada masalah lain yang berkoar-koar juga minta diberi perhatian.

Dikara, Dikara, Dikara...

Nama itu melayang tanpa bisa kukendalikan di atas kepala.

Lampu yang aku nyalakan hanya lampu ruang tamu. Dengan pencahayaan seperti ini, pasukan air mata mulai berjatuhan tanpa ampun. Aku diserang pukul satu pagi. Pipiku basah, sampai aku terisak menahan sesak yang mungkin bisa membunuh kewarasanku dalam waktu singkat.

Apa saja kesalahan yang kutinggalkan di masa lalu dengan tidak pengertian?

Lari dari masalah bukan keputusan yang tepat. Kalian harus belajar dariku, bahwa lari dan sembunyi, kemudian pura-pura baik-baik saja bukan pilihan yang bijaksana. Pantas saja, New York tidak bisa kunikmati dengan baik. Aku... masih meninggalkan banyak luka di sini.

Suara guntur terdengar dan aku memeluk diriku sendiri. Malam ini, aku hanya dibalut dress tipe shoulder-off hitam panjang yang memperlihatkan bagian bahu, yang sebenarnya tidak terlalu cantik. Entah mengapa aku memilih memakai baju ini. Saat memutuskan untuk datang ke perayaan ulang tahun Dikara, isi kepalaku seperti kosong.

Setengah ragu, setengah angkuh.

Aku bisa, aku bisa, aku bisa....

Oh, omong-omong, tangisanku malam ini untuk siapa? Dikara, atau laki-laki itu yang katanya menjadikanku prioritasnya?

DIKARA: MUSEUMS OF FEAR [TERBIT] ✓Where stories live. Discover now