Part 2 Merida dan Marsa

2.1K 118 7
                                    

Silakan beri kritik dan sarannya

°
°
°
Wanita berambut pendek dengan kacamata hitam di atas kepalanya terlihat sedang memperhatikan kerumunan orang yang berada di taman. Sesekali ia mendengkus kesal karena orang yang ditunggunya belum kunjung datang.

"Maaf aku terlambat. Ada nenek yang menyebalkan sempat menghalangiku tadi," ujar seorang pria yang kini sudah berada di hadapannya dengan napas yang tersengal.

"Kau tahu aku tak suka jika menunggu, bukan?" Wanita itu berdiri dengan sedikit memberi tamparan kecil di wajah sang pria.

"Maafkan aku, Marsa. Ini bukan kesalahanku." Terlihat pria itu meminta ampun.

"Lain kali jangan membuatku menunggu, Pedro!"

"Iya aku mengerti, Marsa."

Wanita bernama Marsa memandang pria yang sudah menemani kesehariannya dengan tatapan sinis.

"Sekarang berikan korban berikutnya. Aku tak mau lagi kau melakukan kesalahan yang sama."

Pedro menyerahkan selembar foto kepada Marsa.

"Wanita ini? Kau yakin?" Menatap foto yang di tangannya.

"Mengapa kau memilihnya? Ada yang lain, bukan?"

"Dari beberapa wanita yang aku temui, hanya dirinya yang memenuhi target kita."

Marsa menghela napas. Ia tahu Pedro kadang tak bisa diandalkan dalam mencari korban. Modal tampannya bisa memberikan keuntungan. Itu saja yang dimiliki pria yang sudah bersamanya selama sepuluh tahun.

"Baiklah. Kita gunakan saja dirinya. Daripada tidak ada yang lainnya. Lain kali cari korban yang lebih baik."

Marsa meninggalkan Pedro yang mengikutinya dari belakang layaknya pengawal.

*****

"Akhirnya kau datang juga, Marsa. Aku sudah menunggu sejak tadi," sambut wanita berambut panjang dengan sumringah.

"Maaf aku jadinya merepotkanmu, Merida." Marsa masuk sambil mengangkat kopernya.

"Kau tak merepotkanku, kok. Pedro sudah cerita semuanya jika kau diusir oleh ibu tiri dan kakakmu."

Merida memeluk sahabat yang pernah satu kampus dan jurusan yang sama dengan erat.

"Tinggallah di sini sesukamu, Marsa. Aku senang jika ada yang menemani di rumah sebesar ini. Ayah dan ibu sibuk di luar negeri," ujar Merida antusias atas kedatangannya.

"Terima kasih banyak, ya. Aku bingung mau tinggal di mana lagi. Oh, ya maafkan sikap Pedro yang lancang memintamu menolongku," ucap Marsa basa-basi.

"Jangan diambil pusing. Lagipula kalian, 'kan sahabatku. Apa salahnya jika aku menolong?"

Merida menggandeng tangan Marsa seakan lama tak bertemu.

"Kau masih meminum obat tidur, Mer?"

Marsa melihat ada botol kecil di nakas ruang tamu. Ia tahu sejak kuliah dulu, sahabatnya ini selalu mengkonsumsi obat agar bisa tidur.

"Iya. Pil itu membantuku untuk tidur lebih nyenyak. Katakan terima kasihku kepada dokter yang memberikan itu, ya."

"Maksudmu ... dokter langgananku?" Merida berdehem saja memberi jawaban.

"Sini aku tunjukkan kamarmu." Merida mengajak Marsa untuk melihat kamar yang akan dipakainya selama berada di sini.

Marsa mengikutinya dari belakang. Ia tahu sahabatnya adalah anak orang kaya di kota ini. Rumah dengan dua lantai dan hanya dihuni oleh Merida dan pembantunya cukup membuat Marsa senang dengan keputusan yang diambilnya.

Lemari TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang