Part 10 Lorong Gelap

1.4K 85 4
                                    

Silakan beri kritik dan sarannya.

°
°
°

Melani berharap Merida segera terbangun dan dapat memberi perihal semua kejadian yang menimpa mereka, meski ia tahu kemungkinan besar ucapannya tidak akan dipercayai pihak kepolisian. Apa lagi kedua rekan Marsa tidak mungkin bisa ditemukan sedangkan Marsa sendiri entah bagaimana nasibnya kini.

Dua tahun hanya terbaring saja di tempat tidur membuat otot-ototnya menjadi sulit digerakkan. Melani hanya bisa duduk di kursi roda sementara waktu sambil menjenguk Merida yang masih belum membuka matanya.

"Kau mendengarkanku, Merida? Jika kau mendengarku, cepatlah sadar. Nenek Pia pasti sudah menunjukkan jalannya, bukan?"

Namun, tidak ada respon apapun ketika sentuhan tangannya menyentuh Merida. Gadis itu tetap tidak bergeming.

"Jika kau bisa keluar dari sana. Aku ingin kita berteman."

Seulas senyuman hangat diberikan Melani pada gadis berambut pirang dengan tubuh yang ringkih itu.

*****

Merida berjalan di sebuah lorong yang panjang seakan tidak terbatas, ia merasa yakin jika ini jalan yang ditunjuk Elbert dan Pia. Namun, sejauh apapun ia melangkah tidak menemukan jalan. Sementara itu Marsa yang mengikutinya dari belakang tiba-tiba saja menghilang dan terus memanggil namanya.

"Marsa ... kau ada di mana?"

Meskipun, Marsa merupakan musuhnya, entah mengapa hati nuraninya mengatakan ingin menolongnya.

"Aku di sini, Merida. Tolong aku!"

Suara teriakan minta tolong Marsa terdengar dekat, tetapi ia tidak dapat menjangkau karena penerangan yang suram.

"Aku akan menolongmu. Tunggu di sana," balas Merida berbalik ke arah belakang mencari sumber suara.

"Tolong aku, Merida. Ini sakit sekali," rintih Marsa kesakitan.

Hati Merida tidak dapat berbohong, ia masih menyayangi sahabat yang telah berusaha membunuhnya. Sekuat kakinya melangkah ia terus berjalan sambil meraba pada dinding.

"Apa yang membuatmu sakit? Apa kakimu terluka?"

"Ini sakit sekali, Merida. Aku terikat," isaknya tertahan seperti menahan sakit.

"Tunggulah sebentar. Teruslah berbicara agar aku bisa mengetahui kau ada di mana."

Namun, semakin Merida mendekat asal suara tersebut, suara Marsa semakin menjauh seakan sulit dijangkau. Merida merasa heran dan bingung. Saat ia berjalan mundur, teriakan Merida dekat sekali.

"Cepatlah kau datang, Merida. Aku sangat kesakitan sekali. Akar-akar ini semakin menjeratku," lolong Marsa dengan teriakan.

"Aku sudah berjalan mendekatimu, tetapi aku tidak tahu kau ada di mana," sahut Merida tak kalah keras.

Merida maupun Marsa saling bersahutan, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang dapat melihat. Pandangan mereka seakan dikaburkan oleh sesuatu yang tidak dapat dijelaskan. Semakin langkah Merida cepat bahkan sampai berlari kecil, langkahnya tidak mau berhenti.

"Kau sudah terlalu berjalan jauh, Nak. Kembalilah kemari."

"Paman Elbert?" Merida berhenti seperti mendengar panggilan Elbert yang dekat.

"Paman ada di mana?" tanya Merida sambil mengedarkan pandangan.

"Paman di belakangmu. Nak," jawab Elbert.

Kali ini Merida semakin dibuat bingung oleh kehadiran Elbert yang datang secara tiba-tiba. Ia ingat benar jika dirinya dan Marsa dulu yang masuk ke lingkaran itu, tetapi mengapa Elbert yang bisa ada berada di depan?

Lemari TuaWhere stories live. Discover now