Chapter #3

955 98 1
                                    

[10 TAHUN KEMUDIAN]

Seorang anak berusia 9 tahun tengah sibuk meninju sebuah boneka jerami berbentuk seperti seorang manusia. Peluh terlihat menetes melewati pelipis anak itu mengalir sampai ke lehernya. Tanpa kenal lelah, anak itu terus melatih setiap gerakannya sampai-sampai ia lupa waktu.

Di tanah lapang itu, terdapat banyak peralatan yang diperuntukkan untuk latihan bela diri seperti pedang, tombak, panahan dan masih banyak lagi. Di dekatnya juga ada sebuah pondok sederhana yang beratapkan daun-daunan yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan. Suara aliran sungai dapat terdengar jelas dari sana karena jarak keduanya hanya terpisah beberapa meter saja.

Bugh! Bugh! Bugh!

"Sedikit lagi..." dengan tangan kecilnya, anak itu terus mengerahkan setiap tenaga dalam tinjunya.

"Bam, istirahat lah sebentar."

Seorang pria terlihat muncul dari jalan setapak yang mengarah ke tempat latihan itu. Ditangannya, ia membawa sebuah kantung yang entah apa isinya. Namun dari jauh Bam dapat mencium aroma makanan favoritnya, sehingga ia dapat dengan mudah menebak apa yang dibawa pria itu.

"Ayah Zahard!" seru Bam lalu mendatangi Zahard yang kini telah duduk di pondok itu.

"Bagaimana latihanmu hari ini, Bam? Ibumu menitipkan makanan kesukaanmu karena kau sudah bekerja keras."

Zahard mengeluarkan makanan dari kantung itu lalu menatanya. Bam terus menatap kesana dengan tatapan lapar. Sebenarnya dari tadi perutnya sudah protes minta diisi, namun karena belum ada makanan Bam memilih menahannya sebentar.

"A-aku merasa semakin kuat. Sebentar lagi aku pasti akan menjadi sekuat Ayah." ucap Bam dengan sorot mata berapi-api. Ia sangat ingin menjadi kuat agar dapat membahagiakan Ayah dan Ibunya di kemudian hari.

"Anak pintar," Zahard mengusap pelan kepala Bam. "Ayo kita makan."

"Um!"

Bam segera menyantap makanan itu dengan lahap. Baginya, masakan ibunya adalah yang terbaik di dunia ini. Zahard tersenyum maklum melihat tingkah anak itu. Di usia yang masih sekecil itu Bam sudah belajar berbagai ilmu beladiri dan shinsoo. Sebenarnya sedikit berat bagi Zahard untuk membiarkan Bam belajar sedini ini. Tapi anak itu tetap kekeh sehingga ia tak bisa berbuat banyak. Di tempat mereka memang adalah hal yang wajar bagi anak kecil untuk belajar beladiri. Namun bagi Zahard, ia lebih senang jika Bam menghabiskan masa kecilnya sebagaimana seharusnya anak kecil sepertinya beraktifitas.

"Ayah tak makan?" tanya Bam sedikit memiringkan kepalanya melihat Zahard sedari tadi terus tersenyum ke arahnya.

"Makanlah," Ucap Zahard.

Bam lalu mengambil sesendok makanan. Namun bukannya memakannya, ia malah menyodorkannya ke arah ke arah Zahard.

"Ayah juga harus makan. Masakan Ibu enak sekali bukan? Kalau Ayah lapar, bagaimana nanti Ayah akan melindungi aku dan Ibu?" ucap Bam dengan tatapan polosnya. Mata bulat berwarna emas miliknya menatap Zahard tepat ke manik mata pria itu.

"Baiklah," Zahard terkekeh pelan. Ia akhirnya mengalah dan mereka berdua kini makan siang bersama.

"Emm, Ayah. Bolehkah besok aku pergi ke tempat Paman Jinsung? Aku ingin belajar menggunakan shinsoo darinya."

Zahard yang semula tengah membereskan peralatan makan kini menghentikan kegiatannya sejenak. Ia memandang wajah Bam yang penuh keyakinan. Menggunakan shinsoo cukup sulit dilakukan anak-anak karena perkembangan tubuh mereka belum sempurna. Zahard ingin menolak, namun ia tahu Bam pasti akan tetap memaksanya. Jadi ia memilih mengiyakan permintaan anak itu.

"Boleh. Tapi kau harus ingat pesan Ayah dan Ibumu. Jangan terlalu memaksakan diri dalam berlatih. Kau masih kecil, Bam."

Wajah Bam langsung semringah mendengar perkataan Zahard. Ia lalu menyeruak masuk ke dalam dekapan pria itu.

"Baik, Ayah! Ayah memang yang terbaik!" ucap anak itu gembira.

Zahard lantas mengusap punggung Bam yang berada dalam dekapannya. Rasa sayangnya berhasil mengalahkan kekhawatiran yang ia rasakan. Bam memang bisa membuat insting ke-ayah-an Zahard seketika muncul. Ia merasa sangat beruntung dengan hadirnya Bam dalam hidupnya.

***

Sudah sepuluh tahun lamanya V menunggu, namun tak ada satupun kabar baik yang didengarnya. Ia terus melewati hari-hari sepinya seorang diri tanpa pernah berhenti berharap akan datangnya keajaiban yang dapat membawa sang pujaan hatinya kembali. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat, dan V masih tetap pada pendiriannya.

Di depannya, berdiri tegak sebuah patung berbentuk sosok wanita cantik yang sangat dikenalnya. Patung itu dibangun sebagai simbol makam milik Arlene walau tubuh wanita itu tak pernah ditemukan. V sebenarnya tak terima karena ia yakin kalau Arlene masih hidup di suatu tempat. Namun keluarga besar Arlene tak ada yang setegar V. Jadi mereka membangun patung itu tiga tahun yang lalu sebagai penghormatan terakhir untuk Arlene.

V sendiri tak setegar yang terlihat. Ia berkali-kali sering merasa putus asa, namun dalam hati ia menguatkan tekadnya untuk tidak menyerah. Sudah hampir sepenjuru negeri ini ia datangi untuk mencari keberadaan Arlene tapi masih tak membuahkan hasil. Instingnya sangat kuat berkata jika ia menyerah maka ia akan menyesalinya seumur hidup.

V lalu menaruh seikat bunga mawar putih di depan patung itu. Mawar putih adalah bunga kesukaan Arlene. Dulu saat keduanya akan pergi berkencan, V selalu menyempatkan diri mampir ke toko bunga untuk membeli mawar putih. Bahkan ketika ia melamar Arlene untuk menjadi istrinya, bunga itu juga lah yang menjadi saksi ikatan cinta suci mereka. Terbayang wajah bahagia Arlene kala itu membuat V nyaris meneteskan air matanya.

Rasa cintanya pada wanita itu masih sama seperti dulu dan tak pernah terkikis waktu.

"V, apa kau sudah selesai?"

V menoleh ke belakang, dimana Hana tengah berdiri menunggunya sambil menggendong seorang anak perempuan berusia 7 tahun.

"Sebentar lagi," ucap V masih ingin berlama-lama di tempat itu. Ini adalah salah satu cara pria itu untuk melepas rasa rindunya pada Arlene. Sebelum merasa puas, ia tak berniat meninggalkan tempat itu.

"Cepatlah, Ehwa sepertinya mengantuk."

Mendengar itu ia segera menyudahi kegiatannya. V lalu berjalan ke arah Hana dan mengambil alih anak dalam dekapan wanita itu. Ia menggendong Ehwa lalu pergi meninggalkan tempat itu sembari sesekali mengelus puncak kepala anak yang tengah tertidur lelap itu.

***

Di sebuah Mansion yang sangat megah, seorang anak tengah berjalan mengendap-endap di pagi buta berusaha menyelinap keluar gerbang yang tengah dijaga ketat oleh beberapa pengawal. Matanya melirik kenan dan ke kiri mencari celah yang mungkin bisa digunakannya untuk kabur. Melewati gerbang akan terlalu beresiko jadi mau tak mau anak itu harus kembali memutar otaknya.

Ia berjalan sedikit merangkak ke arah pagar yang berjarak sekitar 15 meter dari gerbang utama. Kemudian secara perlahan ia menyusuri pagar itu sampai pandangannya berhasil menangkap sebuah celah kecil dibawah pagar. Celah itu berdiameter sekitar 30 sentimeter dan sepertinya akan muat jika di lalui anak itu.

"Penjaga, Tuan Muda kabur lagi!"

"Sialan!"

Mendengar seruan dari pelayan, anak itu segera  berusaha melewati celah tadi sebelum penjaga berhasil menangkapnya. Ia sudah bersusah payah mencari timing yang pas untuk melarikan diri, jangan sampai ia tertangkap sebelum ia menyelesaikan hal yang harus ia lakukan.

"Aku harus pergi sejauh mungkin," batin anak itu begitu berhasil melewati celah tadi dan langsung saja meninggalkan Mansion megah itu yang mulai tak terlihat dari kejauhan. Ini adalah langkah pertama yang harus ia lakukan demi keberhasilan tujuannya.

"Tuan muda ada di sana! Cepat tangkap dia!" mendengar itu, si anak tadi semakin mempercepat langkah kakinya.

Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya ia berhasil meninggalkan rumah besar itu. Ia tak boleh tertangkap.

Prince Of Night [Tower Of God FF - Baam]Where stories live. Discover now