5

3K 132 0
                                    

"Ai bukain, egois banget si lu jadi anak." Bentak Aini dari luar pintu kamar Aina. Aini yang merasa menyerah karena ketukan pintunya tak mendapat respon. Akhirnya dia berbicara dari balik pintu kamar Aina.

Terdengar suara samar-samar Aini di telinga Aina. "Ai, gue juga 2 bulan lagi ada olimpiade biologi. Jd mama harus dampingin gua, karena tadi beliau udah janji." Ucap Aini datar. "Dan bang Emyr ada olimpiade matematika di bandung. Dan papa udh janji yang temenin dia." Lanjutnya. Aina tak bergeming dan masih menunggu lanjutan dari ucapan Aini. "Lo minta temenin, sama Bi Imas aja." Lanjutnya lagi.

"Oh iya kita mau pergi dulu ya, lo jaga rumah." Akhirnya suara itu tak ada lagi ditelinga Aina. Isakan Aina makin menjadi setelah mendengar penjelasan Aini. Dia tahu bahwa orang tuanya lagi-lagi lebih memilih menemani putra-putri kesayangannya mengikuti olimpiade MIPA, dibandingkan dirinya.

Aina lelah menghadapi semua ini lebih dari 5 tahun. Aina yang tak di anggap oleh keluarganya, Aina yang selalu di acuhkan, Aina yang ada tapi tak pernah terlihat, Aina yang selalu mendapat perlakuan kasar. Semua pikiran itu memenuhi kepala Aina. Aina bangkit dari tidurnya.

Dilihat jam menunjukkan pukul 9, sudah sejam sejak kejadian itu Aina menangis. Dengan langkah gontai Aina menuju kamar mandi. Membasuh wajahnya dengan air wudhu, mencoba menenangkan pikirannya. Aina kembali ke kamarnya dan mengambil alat sholatnya. Dengan khusyu' Aina menunaikan kewajibannya. Sampai sesekali cairan bening itu membasahi pipinya kembali. Aina berdoa, mencoba meminta kekuatan pada sang Pencipta.

"Ya Allah, apa salah Aina?" Tubuh Aina mulai bergetar. "Kenapa semua keluarga Aina membenci Aina? Aina gak kuat ya Allah hiks, Aina ingin seperti Talita yang disayangi oleh ibunya hiks." Isakan Aina mulai terdengar dan cairan bening itu meluruh kembali. "Apa jika perbedaan membuat Aina tidak disayang?" Lagi-lagi Aina berbicara sambil sesegukkan. "Aina tau Aina gak pinter dalam hal akademik seperti ka Aini dan hiks bang Emir. Tapi Aina juga mau mendapat kasih sayang dari mama dan papa hiks hiks."

"Ya Allah, Aina ingin menyusul Ooooma dan Opaaaaa hiks." Lagi-lagi isakan tangis Aina tidak bisa tertahankan. "Salahkah Aina terlahir ke dunia ini?." Ucap Aina dengan suara parau. Tubuh Aina semakin lemah, dia semakin kelelahan karena tangis yang sedari tadi. Dia pun belum makan dan meminum obatnya. Aina merasakan pusing kembali. Hingga akhirnya kegelapan kembali menguasai dirinya.

Tok tok tok "Non Ai, ayok makan dulu, bibi bawain mkan nih. Tadi kan Non belum makan pas pulang." Suara Bi Imas yang begitu lembut sambil sesekali mengetuk pintu kamar Aini.

Setelah 15 menit mengetuk pintu kamar Aina. Tak ada tanda-tanda akan dibukakan pintu oleh Aina. Bi Imas yang panik karena tau kondisi kesehatan Aina. Langsung memanggil Kang Asep untuk membuka pintu kamarnya. Kang Asep menaiki anak tangga dengan terburu-buru karena mendengar teriakan bi Imas yang sangat panik.

Setelah itu Kang Asep mencari kunci cadangan dan membuka pintu kamar Aina dengan terburu-buru. Saat pintu berhasil terbuka. Betapa kagetnya Bi Imas dan Kang Asep melihat kondisi Aina.

"Astagfirullahalazim Non Aina." Ucap Bi imas didepan pintu.

Biarkan Aku PergiDär berättelser lever. Upptäck nu