Agara -30

1.2K 62 4
                                    

Agam duduk terdiam di sebuah ayunan putih. Mengingat fakta bahwa tak seharusnya ia memikirkan Rara. Keputusan yang Agam buat sudah bulat. Ia tak mau menyakiti Rara lebih lanjut lagi. Memutuskan hubungan dengan Rara bukan berarti hal yang mudah bagi Agam. Ia juga merupakan pihak yang tersakiti dalam masalah ini. Keputusannya menghancurkan ia sendiri. Agam tau ia akan rapuh setelah ini, tapi lebih baik ia rapuh sendiri dibandingkan Rara ikut merasakan. Rara hanya akan rapuh sebentar setelah ini. Tapi mungkin Agam, akan rapuh selamanya.

Menyambung kembali silaturahmi dengan Rara sebenarnya sangat ingin ia lakukan. Berpisah dengan cara seperti ini bukan merupakan cara yang tepat. Agam tetap ingin hubungannya baik-baik saja dengan Rara. Mungkin berteman. Agar Agam bisa jatuh cinta dalam diam tanpa harus menjauh dari Rara. Tapi meninggalkan dengan menyakiti Agam rasa menjadi salah satu cara yang tepat. Agam egois jika meninggalkan Rara tapi tetap ingin disisinya. Karena Rara akan susah melupakannya nanti. Dengan cara melukai hati Rara seperti ini, Agam harap dapat membuat Rara lebih mudah melupakannya. Lalu membencinya dan mencari penggantinya kemudian melupakannya. Tanpa ia ketahui fakta, bahwa Rara tak akan pernah bisa, sekalipun Agam telah menyakitinya.

Agam menatap layar ponselnya, melihat whatsApp dan memantau status serta online Rara adalah hal candu yang akhir-akhir ini ia lakukan. Karena hanya dengan itu Agam akan mengetahui bahwa Rara baik-baik saja. Ia menatap malas tampilan lock screen yang menampilkan gambar dirinya dengan seorang perempuan. Perempuan yang tidak ia harapkan bahkan ia benci. Penghancur segalanya. Dia adalah Natha. Dua hari yang lalu Natha memaksa memasang fotonya di ponsel Agam. Agam tidak menolak, karena Agam tak mau terlalu lama ribet dengan urusan Natha. Lakukan sesuka hatinya saja, Agam tak peduli.

Agam menghela napas pasrah. Hari-hari beratnya selalu sendiri tanpa Rara. "Andai aja lo tau yang sebenernya, Ra. Lo pasti lebih benci sama gue".

Agam beranjak dari duduknya. Berjalan ke rumah Tuhan setelah adzan selesai dikumandangkan. Menjalankan kewajiban sembari mengeluhkan masalahnya. Dari dulu memang hanya Tuhan tempatnya berkeluh kesah. Ia tak percaya pada manusia. Bahkan pada sahabatnya sendiri.

***

Agam memakai kaos kaki serta sneakersnya. Setelah sholat tadi memang pikirannya lebih tenang dan segar. Notifikasi ponsel Agam beberapa kali berbunyi, membuatnya kesal kenapa tidak dapat bersabar menunggu sebentar. Sudah ia duga bahwa itu dari Natha. Perempuan tak tahu diri, yang selalu manja padanya. Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang wanita. Bagaimanapun dia, dia pantas untuk dihormati. Maka dari itu Agam tak pernah marah dan kasar padanya. Meskipun ia telah merusak hidupnya. Agam bukannya tak pernah marah, hanya saja ia tahan karena ia mengetahui batasan. Tapi bagaimanapun juga, Agam dapat tegas jika dia kelewatan apalagi sampai ia berani menyentuh Rara.

Natha : sayang
Natha : dimana ?
Natha : aku pengen belanja, temenin aku ke mall
Natha : aku tunggu kamu dirumah, kamu jemput aku
Natha : cepetan sayang

Agam : Iy

Jari Agam mengurungkan niat untuk berkata 'Bacot' pada Natha. Ingat, dia perempuan.

"Arghhh"

***

"Sayang kok kamu pake motor sih, kamu kan tau aku gasuka panas-panasan"

Agam menghela napas sabar.

"Tadi yang nyuruh cepet-cepet siapa? Kalau pake mobil gabisa cepet tadi, lo tau sendiri Jakarta macet parah"

"Ya kan kamu bisa nyari jalan lain, jalan di Jakarta kan banyak ngga cuma satu"

Agam memutar bola matanya malas. Berdebat dengan Natha sama saja ia bodoh.
Dan buang-buang waktu.

"Yaudah, Lo jadi ngga? Kalau ngga gue pulang"

Agam membalikan tubuhnya berniat pergi dari tempat itu. Tapi jelas Natha cegah.

"Ehh jangan dong, Yaudah jadi, tapi pake mobil aku aja, aku gamau pake motor nanti rambut aku rusak"

Agam hanya berdeham mananggapinya.

***

Seperti yang sudah Agam prediksi. Semua jalanan di Jakarta tenggah macet. Mengingat hari ini adalah hari libur nasional yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang ingin berwisata.

"Agammmm panas"

Natha terlihat tidak nyaman dengan duduknya.

"Agammm aku laper ih"

Agam tetap tidak menghiraukan.

"Agamm kamu dengerin aku ga sih?!"

Agam menoleh kesal.

"Lo kan liat gue lagi fokus sama jalan"

"Emangnya gabisa jawab aku bentar? Hah?"

Agam menghela napas kesal.

"Apa? Lo mau apa?"

"Laper? Itukan disamping Lo banyak makanan. Panas? Dari tadi AC mobil nyala terus dan gue ga ngerasa panas disini"

Natha mencemberutkan bibirnya. Baru kali ini ia melihat Agam berbicara nada tinggi dengannya.

"Gue muak tau ngga sama Lo, apa-apa ngeluh"

Agam menghentikan mobilnya mendadak didepan sebuah supermarket.

"Mau Lo apa?"

Natha terlihat tak suka dengan Agam yang berani melawannya seperti ini. Hari-hari sebelumnya Agam selalu bisa ia takhlukan.

Agam membanting pintu mobil dan berjalan meninggalkan Natha. Natha yang melihat Agam berani bertingkah seperti itu memanas karena emosi.

"Oke fine, Lo ninggalin gue dan Lo tau konsekuensinya" teriak Natha sedikit kencang. Yang tak Agam hiraukan.

Mau Agam sekarang adalah cepat-cepat pergi dari Natha. Ia bisa menelpon siapa saja untuk menjemputnya sekarang. Sedangkan motornya masih dirumah Natha. Biar nanti ia menyuruh seseorang untuk mengambilnya.

Agam berdecak kesal. Kenapa ini semua harus terjadi. Kenapa dulu Agam mau memulainya, dan meninggalkan Rara yang kini semakin membuat hatinya nanar. Agam ingin mengulang waktu. Dimana ia masih bersama orang yang dicintainya.

🌛Agara🌛

Halo readers, kembali lagi setelah lama hiatus hehe. Jangan lupa vote yaa :)

AgaraWhere stories live. Discover now