10: fugacious

58 13 1
                                    

fugacious
;-
fleeting
(cepat berlalu)









"Telat lagi, Mary?"

Ujar guru piket yang udah nongkrong di lobi sekolah dengan kacamatanya yang agak turun ke hidung sambil menulis laporan ke buku khusus untuk murid telat.

"Iya, bu. Hehehe..."

Tsabita cuman bisa cengar-cengir aja karena dia tau kali ini dia yang salah, kayaknya udah langganan telat setiap hari senin.

"Kesiangan? Apa semalem jalan-jalan sama pacar jadi kebawa mimpi?"

"Saya gak punya pacar, bu..."

"Lah terus si Jena gak dianggep?"

"Hah... kita gak ada hubungan apa-apa, bu..."

"Tadi selesai upacara dia heboh nyariin kamu pake microphone di panggung, itu maksudnya apa?"

Tsabita kaget, "Hah? Jangan tanya saya, bu... Tanya orangnya langsung aja," jawabnya dengan nada santai padahal Tsabita udah mikir yang jauh-jauh. Dia gak mau pacaran sama Jena, dia beneran gak suka sama cowok itu. Nganggep dia gebetan juga enggak.

Selama ini Tsabita cuman manfaatin Jena kalo lagi butuh apa-apa baru dibaik-baikin, kalo enggak mah ya judes. Tsabita suka ngerasa kasian juga sih tapi itu balasan dia yang selama ini udah nembak Tsabita empat kali dan di tolak empat kali juga. Gak ada kapok-kapoknya tuh anak.

"Panggilan untuk Jenanta Ezra kelas sebelas IPS dua dan Tsabita Rosemary kelas sebelas IPA satu, untuk datang ke ruang BK sekarang. Terima kasih."

Tsabita kaget, ada apa sih dengan hari senin? Apa hari senin jadi marah karena Tsabita benci? Dengan langkah yang lemas dan menghela nafas panjang, Tsabita berjalan menuju ruang BK yang ada di lantai dua.

Sebelumnya dia mendapatkan pesan dari guru piket tadi, "Hari ini kamu sama pak Sondang. Iya-iya aja kalau dia ngomong dan ceritain sejujurnya, dia lebih suka yang kayak gitu dari pada yang melawan. Paling yang kena si Jena, kamu bakalan aman. Percaya sama ibu." Tsabita beneran mikirin perkataan itu sepanjang jalan menuju lantai dua.

"Permisi..."

Suara Tsabita udah melemah, udah bete banget hari ini kebanyakan cobaan.

"Sini, Mary." Ketika diperintahkan untuk duduk, Tsabita melepas tas ranselnya, meletakkannya di bawah dan baru duduk di hadapan guru BK.

"Kalian lagi ada masalah apa?"

Sebenernya Tsabita udah tau dengan apa yang terjadi tadi karena guru piket memberitahunya tadi, tapi karena cari aman sekarang dia pura-pura gak tau aja.

"Maksudnya apa ya, pak?"

"Loh kamu gak tau tadi Jena ngapain sehabis upacara?"

Tsabita menggeleng, "Tidak, pak. Tadi saya telat, jadi gak ikut upacara," begitu mendengar jawaban dari Tsabita, guru BK tersebut mendorong punggungnya untuk bersender di kursi. "Ya ampun... Yasudah, kita tunggu Jena datang dulu ya. Biar dia bisa menjelaskan semuanya."

Lima menit kemudian, Jena masuk ke ruangan guru BK dengan seragam yang berantakan, "Benerin dulu bajunya, masukkin ke celana." Ujar guru BK dengan nada yang sedikit gondok, emang Jena selalu ada cara buat guru marah.

"Duduk."

"Ada apa, pak?"

"Jelasin ke Mary, tadi kamu ngapain di panggung."

Jena terpaku lalu mengarahkan pandangannya ke Tsabita, perempuan itu sudah malas berurusan dengan lelaki yang sedang menatapnya sekarang. "Urusan pribadi, pak."

"Iya, saya mengerti. Tapi kalo urusan pribadi, ngapain teriak-teriak pake microphone di atas panggung? Yakin itu masih urusan pribadi sekarang?"

Tsabita memutar bola matanya karena sudah kesal dengan perilaku laki-laki ini, sedangkan Jena hanya menunduk. Entah dia merasa bersalah atau lagi ketawa. Gak ngerti deh.

"Pak... bisa kita ngomong berdua aja? Bapak terserah mau nulis apa di buku kejadian tapi kayaknya saya gak bisa jelasin ini semua di depan bapak,"

Jena mencoba agar dia dan Tsabita diberi waktu untuk bicara berdua saja. Dia terlalu malu untuk ngomong semuanya di depan guru BK.

"Baik. Hanya Jena yang saya hukum setelahnya, Mary bisa kembali ke kelas."

"Iya pak, terima kasih." ujar Jena.
"Makasih, pak." ujar Tsabita.

Mereka berdua keluar dari ruangan itu dan Jena dengan cepat menarik tangan Tsabita. Jena terlihat sangat tergesa-gesa dan akhirnya membiarkan Tsabita duduk di kursi kantin, untung sepi karena belum jam istirahat.

"Apa lagi sih lo??" Tsabita marah, benar-benar sudah hipertensi karena kelakuan laki-laki yang ada di depannya sekarang. "Dari semalem gue kepikiran lo terus, gue kangen, gue pengen perhatian sama lo, gue pengen lo jadi milik gue selamanya..."

"Terus?"

"Lo mau jadi pacar gue?"

"Lo udah tau jawabannya."

"Mary... please banget. Gue udah berusaha semuanya udah gue lakuin buat lo supaya lo bisa suka sama gue, masa sih lo gak bisa hargain perasaan gue?"

"Jena, dari awal lo deketin gue sampe lo nembak dan gue tolak berkali-kali, harusnya lo tau kalo gue beneran gak ada rasa apapun sama lo. Gue gak segampang itu bisa numbuhin perasaan ke cowok yang gak gue suka."

"Terus kenapa lo nolak gue? Gue kurang apa?"

"Semua manusia punya kekurangan, Jen. Tapi gue bener-bener gak bisa sama lo, cinta gak bisa dipaksa."

Tsabita berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan Jena yang masih duduk berpikir keras disana.

...

OblivionWhere stories live. Discover now