a good purpose||18

7K 877 213
                                    

"Katakan apa maksudmu?"

Derap langkah kaki terdengar di belakang Letta, jantung Letta berdebar kencang, tubuhnya menegang, sesaat kemudian telapak tangannya dingin. Suara itu terdengar di belakangnya membuatnya membeku. Sial, suara itu? Apa dia mendengar apa yang ia katakan?

Fano berdiri di depannya sudah menatap Letta dengan wajah menuntut jawaban. Sementara jantung pria itu sudah berdebar kencang, seperti ada benda tajam yang menikam dadanya, Fano merasa sakit itu menghujamnya. Apa yang baru saja di dengarnya membuatnya kehilangan fungsi tubuhnya. Keterkejutan membingai wajah yang tampak kalut itu.

"Katakan apa maksudmu?" Fano mengulang pertanyaannya dengan tidak sabaran.

Letta membisu. Kemarahan menikam jantungnya. Membuat kedua tangannya mengepal, wajahnya menggelap. Letta mengatur napasnya, dan memalingkan wajahnya. "Lupakan," suaranya terdengar serak, Letta mati-matian menahan air matanya agar tidak tumpah, ia lalu hendak berbalik saat Fano menahannya dan mencengkram bahunya.

"Katakan, apa yang barusan kamu katakan!" Fano menekan kalimatnya, netranya menatap Letta menuntut jawaban.

Letta menepis tangan Fano pada bahunya, lalu menatapnya dingin. "Apa yang ingin kamu ketahui dari saya?" Letta terkekeh, sesaat setelah ia berhasil mengendalikan dirinya. "Setelah tiga tahun berlalu apa yang ingin kamu ketahui? Apa kamu baru saja bertanya tentang dosa masa lalu apa yang sudah kalian lakukan kepada saya?" nada bicaranya terdengar dingin. Letta Mencoba bersikap setenang mungkin ketika segalanya justru membuat sesak itu semakin tumpang tindih mendobrak kendali dirinya.

Tapi ketenangan Letta membuat Fano tidak sabaran. "Kamu ... kamu ha .. mil?" suara Fano tercekat, dadanya naik turun, jantungnya berdebar kencang. Seakan mendapatkan eksekusi hukuman mati, darah Fano berhenti mengalir.

"Kam .. kamu hamil? Anak .. anakku?! Kamu hamil?" pandangan Fano berubah memerah, bibirnya bergetar. Lemas, Fano merasakan sekujur tubuhnya seperti jelly.

Letta memalingkan wajahnya tak akan percaya oleh raut terluka Fano. Bibir Letta sudah terlihat pucat. "Ya," tidak ada gunanya lagi menutupi segalanya dari mereka. Toh Fano sudah mendengarnya. Mereka harus tahu sebesar apa dosa yang telah mereka perbuat padanya. "Ya, saya hamil. Kalau itu yang ingin kamu dengar dari mulut saya." Saat melihat wajah terkejut Fano, senyum sinis ia lemparkan untuk pria itu.

"Terkejut, sayang?" Letta terkekeh. Lalu wajahnya kembali dingin. "Terkejut saat tahu saya pernah mengandung anakmu." Dia mengulang kalimatnya dengan penuh penekanan.

Fano memejamkan matanya. Kenyataan yang didengernya membuat jantungnya terasa ditikam oleh benda tajam. Sakit, namun tidak berdarah. Seperti luka baru yang ditaburi oleh cuka rasanya teramat perih.

Ya Tuhan, kenapa dia tidak mengetahui hal ini?

"Letta --"

"Kamu tahu saya benci kalian berdua. Saya muak melihat kamu bahagia bersama si sampah ini sementara saya ... " Letta menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan, mencoba mengurangi sesak di dalam dadanya. "Sementara saya tidak pernah hidup tenang saat mereka mencoba memperkosa saya, saat mereka membuat saya kehilangan anak saya." Letta tertawa keras, tawa yang terdengar menyakitkan. Ia tidak ingin menangis tetapi pada kenyataannya air matanya mengalir.

Letta menunduk sejenak, menarik napasnya kembali lalu mengangkat wajahnya. "Kamu tahu apa yang dirasakan pelacur yang sedang mengandung anakmu ini saat dia tahu kalau lelaki yang menghamilinya hanya menganggapnya sampah yang hanya pantas untuk dibuang."

Perih, itulah yang Fano rasakan saat Letta mengatakan hal itu. Mengingatkan dirinya akan kesalahannya di tiga tahu lalu. Kesalahan yang membuat Fano tidak dapat mengontrol ucapannya yang mengatakan kalimat sekeji itu pada Letta, 'PELACUR' tapi, SAMPAH? untuk yang satu itu Fano tidak pernah sama sekali menganggap wanitanya sampah. Namun, kenapa Letta mengatakan omong kosong itu.

A Good Purpose (Sudah Terbit)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt