a good purpose || 28

6.1K 833 79
                                    

Letta menghabiskan waktu yang begitu membosankan bersama Robby. Meminta Robby menemaninya belanja, meski pria itu selalu mengoceh sepanjang ia melihat-melihat baju, tas, dan sepatu yang ia datangi dari satu toko ke toko lain. Sudah mencoba mengalihkan diri namun pikirannya belum merasa tenang dan nama pria itu bahkan masih menghantui setiap pikirannya hingga detik ini. Saat Robby mengajaknya nonton bioskop, saat Robby mengajaknya makan, bahkan Letta tidak sedikitpun bisa pokus pada film yang ditontonnya bersama Robby. Ketika Robby mengajaknya bicara pun ia hanya membalas dengan wajah bosan dan tanpa ekspresi apa-apa. Menunjukan kalau Letta benar-benar bosan.

"Aku pernah memintamu menjadi pacarku, kan?!" tanya Robby saat mereka sudah berada di salah satu club langganan Robby. Setelah makan malam Letta dan Robby memilih pindah ke club. Hari memang sudah gelap, tidak terasa ia sudah bersama Robby hampir seharian.

Letta mengangguk tanpa minat. Ucapan Robby mengingatkan ia tentang Robby yang memang sering meminta dirinya untuk berpacaran dengan pria itu, tapi ia selalu menolaknya secara halus, karena Letta tidak memiliki keinginan untuk berkomitmen pada siapa pun.

"Lalu bagaimana menurut? apa kamu sudah memikirkannya?" Robby meminta kepastian. Pria itu pernah menyuruh Letta untuk memikirkan permintaannya, dan Letta hampir melupakan itu. Memang sudah hampir setengah tahun dia dekat dan mengenal Robby, tapi dekat dengan pria itu tidak membuat Letta berniat untuk menjadikan Robby sebagai seorang yang spesial di hatinya.

"Aku lebih nyaman seperti ini!" jawab Letta sambil meminta minuman pada bartender di depannya. Ia sudah terbiasa ditembak oleh pria-pria seperti Robby dan jawaban yang sama yang selalu Letta berikan.

Entah kenapa selama dekat dengan pria manapun, Letta tidak pernah hatinya tersentuh untuk menerima mereka menjadi kekasihnya. Mungkin karena hati Letta telah mati sejak tiga tahun lalu, makanya ia malas berhubungan serius dengan laki-laki. Dan alasan lainnya karena ia telah menganggap semua pria sama saja, sama-sama berengsek dan hanya pantas dijadikan mainan.

Robby menghembuskan napasnya kasar, ia mengambil tangan Letta, mengusapnya lembut. Letta membiarkannya dan tidak menolak. "Apa kamu tidak ingin menjalaninya, siapa tahu kita cocok," pinta Robby, masih berusaha. Sebelah tangannya mengusap rambut Letta.

Letta menggeleng. "Kurasa tidak, aku lebih senang kita sebagai teman," ujarnya tanpa berpikir dua kali.

Mana ada teman yang pernah saling mencium, pikir Robby, kesal. Sangat sulit meluluhkan hati Letta. Lama-lama Robby gerah juga.

"Baiklah jika itu maumu, Beb." Robby mengalah, tidak memaksa. Meski tidak menjadi pacar tidak masalah selagi Robby masih bisa memanfaatkan kedekatan mereka dengan tetap bisa mencium dan memeluk Letta. Robby tentu saja sama seperti kebanyakan laki-laki, dia lelaki normal yang menginginkan kebutuhan biologisnya terpenuhi. Meski belum sepenuhnya mendapatkan itu dari Letta tapi Robby akan terus berusaha, lihat saja nanti. Pikiran jahat mulai melintas di kepala Robby.

"Aku ke toilet dulu, Beb." Robby beranjak dari sampingnya. Letta mengangguk--membiarkan Robby mencari toilet. Selebihnya ia tidak peduli lagi apa yang akan pria itu lakukan. Ia bukan tidak peka pada kekecewaan Robby terhadapnya karena menolak berpacaran dengan pria itu, tapi ia memang terlalu tidak peduli pada Robby. Tidak memikirkan perasaan Robby karena itu tidaklah penting.

Letta menolak Robby bukan karena pria itu tidak tampan, pria itu tampan meskipun tidak setampan--Letta menggelengkan kepalanya belum apa-apa dia sudah memikirkan pria itu lagi, sial. Mencoba mengenyahkan pikirannya Letta beranjak dari kursi, hendak bergabung ke tengah-tengah lantai disko, di mana di sana telah berkumpul kerumunan orang yang mengelilingi lantai disko dan mereka saling bergoyang.

Saat langkahnya hampir menuju lantai disko, Letta menghentikan langkahnya ketika matanya menangkap siluit pria yang pernah dikenalinya dulu. Sosok pria yang --

A Good Purpose (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now