a good purpose|| 21

5.6K 768 106
                                    

"Bagus kalau perlu lo tambahin dosisnya lebih banyak lagi. Gue nggak mau tahu gimana pun si gila itu nggak boleh sampai sembuh, kalau perlu buat dia lebih parah lagi dari ini." Letta keluar dari elevator sembari terus berbicara pada seorang di sebrang ponselnya. Thomas dan anak buahnya yang lain mengikutinya di belakang. "Sekalipun dia mati karena overdosis gue nggak peduli."

"Gue bisa pastikan kalau semua sudah berjalan sesuai dengan keinginan lo, Bos."
ucap suara di sebrang sana.

Setengah sudut bibir Letta terangkat, membentukan senyuman puas. "Gue mau dia mendekam selamanya di sana, lo ngerti maksud gue, kan?"

"Semua akan berjalan sesuai yang lo harapkan, selama kita ngelakuinnya dengan aman dia akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa, Bos!"

"Bagus." Lalu Letta memutuskan sambungan telponnya secara sepihkan. Letta menunduk, memasukan kembali ponselnya ke dalam tas. Segala pikirannya terkuras habis oleh kejadian tadi, membuat kepalanya pening. Letta tidak tahu kenapa kepalanya tidak mau berhenti memikirkan Fano. Seharusnya ia puas dan senang karena sudah memberi pelajaran pada Fano. Selama ini ia telah melakukan itu kepada mereka yang sudah membuat hidupnya berantakan. Kepada Nara, Shesil, Clara dan yang terakhir Fano. Semua hidup mereka Letta yang menghancurkannya. Tapi kenapa saat tiba giliran pria itu, Letta merasa sakit melihat Thomas dan anak buahnya memukuli Fano.

Brakkk..

Letta terperanjat saat tubuhnya ditabrak oleh seseorang, ia hampir saja terjatuh jika orang itu tidak menahan punggungnya.

"Maaf, Maaf Mba saya tidak senga--, Letta." Pekik orang itu saat melihat Letta. Netranya terlihat membulat.

Letta menatap pria yang menahan punggungnya. Lalu memicing, merasa bingung setelahnya. Ia tidak mengenal pria berkemeja hitam dan jeans putih itu, pria yang tengah menatapnya itu.

"Kamu mengenal saya?" Letta menjauhkan diri dari rengkuhan pria yang tidak dikenalinya itu sembari mengajukan pertanyaan. "Kenapa kamu bersikap seolah kamu mengenal saya?"

Pria itu tersenyum, mengulurkan tangannya secara tiba-tiha. "Langit, kamu masih mengenalku kan? atau kamu sudah melupakan kalau kamu sempat punya teman bernama Langit." Pria itu memperkenalakan diri, mengingatkan Letta akan sosok kakak kelasnya dulu ketika ia masih berseragam putih abu-abu.

"Ka Langit." Gumam Letta tidak menyangka akan dipertemukan kembali dengan pria ini. Kaka kelasnya dulu. Lelaki yang pernah disukainya sebelum ia bertemu dengan Fano. Dan pria yang sayangnya adalah adik tiri Fano. Letta tidak menyangka kalau ia akan dipertemukan kembali dengan Langit setelah tiga tahun berlalu, dan melihat perubahan dari penampilan Langit, Letta benar-benar tidak menyangka kalau Langit akan setampan ini ketika dewasa. Kemeja sekolah dan celana abu-abunya telah tergantikan dengan pakaian kasual ala anak kuliahan.

Langit mengangguk dan tersenyum. "Ternyata kamu masih mengingatku, Tta!" ujarnya senang, Letta tersenyum tipis menanggapinya. "Kamu apa kabar? rasanya sudah lama sekali tidak bertemu denganmu." Kata Langit tulus. Masih tidak berubah, pria ini selalu baik dan tulus terhadapnya, dan hanya Langit yang tidak pernah masuk ke dalam sasaran balas dendamnya.

Letta tersenyum lembut. "Aku baik, sangat baik." Tentunya tidak baik-baik saja setelah ia bertemu dengan pria itu, abang dari pria di depannya. Dan Langit tidak pernah tahu bagaimana buruknya kehidupan dirinya selama tiga tahun belakangan ini.

"Kakak sendiri bagaimana kabarnya? Aku juga tidak pernah tahu kabar Kakak selama ini." Katanya balik bertanya. Ia dan Langit berbicara di dekat parkiran. Thomas dan anak buahnya sedikit memberi jarak saat tahu kalau pria yang sedang berbicara dengan nonanya adalah teman Letta.

A Good Purpose (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now