Delapan

114K 13.3K 1K
                                    

Demam tinggi yang menyerang  menjelang matahari terbit, tidak lantas dijadikan sebagai alasan untuk tidak masuk sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Demam tinggi yang menyerang  menjelang matahari terbit, tidak lantas dijadikan sebagai alasan untuk tidak masuk sekolah. Meskipun orangtua memintanya untuk istirahat di rumah, Diaz begitu keras kepala untuk tetap berangkat. Hal semacam ini sudah bukan hal asing lagi. Diaz bahkan pernah mendapat efek lebih buruk dari sekadar demam. Muntah darah sampai tubuhnya sepucat mayat pernah ia dapatkan saat kecil.

Kunci motor ia cabut lalu masuk saku celana, Diaz pun turun dari motor dan melenggang dengan langkah pelan seraya menurunkan ritsleting jaket kulit yang ia kenakan. Wajah pucat tanpa senyuman miliknya semakin membuat murid-murid yang berpapasan dengannya merasa takut. Bahkan sampai ada yang putar arah untuk menghindar.

"Tolong ambilin, Di. Lempar sini."

Langkah Diaz terhenti karena seruan itu. Bola basket memantul dan berhenti di hadapannya. Cowok itu membungkuk, meraih bola dan langsung dilempar ke lapangan.

"Thanks!" seru cowok itu lalu mendrible bola di tangannya.

Diaz mengangguk lemah sebelum akhirnya kembali melangkah. Baru beranjak dua langkah, ia kembali berhenti saat mencium aroma dan suara khusus yang menjadi isyarat jika bahaya mengintainya. Cowok itu pun mendongak dan langsung mundur cepat ke belakang untuk menghindari bahaya.

Bruk.

Pot yang meluncur dari atas, hancur tepat di hadapan kaki Diaz. Pot itulah yang membuat radar tanda bahaya muncul. Seseorang seperti sengaja menjatuhkan pot itu dari lantai tiga dengan harapan pot itu jatuh menimpa kepalanya.

Beberapa murid yang kebetulan tak jauh dari posisi Diaz hanya bisa menatapnya dengan bingung. Sementara Diaz mendongakkan kepala menatap ke arah koridor lantai tiga.

Cewek dengan rambut lurus panjang tergerai berdiri di sana. Cewek itulah yang dengan sengaja menjatuhkan pot mencoba mencelakainya.

Diaz mengangkat sebelah alisnya, bingung. Ia tidak mengenal apalagi merasa punya salah atau masalah dengan cewek itu.
Tapi mengapa cewek itu ingin mencelakainya?

Lalu tatapan penuh kebencian itu ... Diaz merasa tidak asing.

Cukup lama Diaz dan cewek itu saling mengunci tatapan, hingga akhirnya terputus saat cewek asing itu melenggang begitu saja.

Diaz pun mengedikan bahu dan mencoba untuk tidak terlalu memikirkan siapa dan apa maksud cewek itu.

Mungkin saja hanya iseng untuk menarik perhatiannya, kan?

Mencoba abai, Diaz melanjutkan langkah. Sesampainya di kelas, penghuninya nampak sibuk.

"Di, lo udah ngerjain PR Geografi?" tanya Aldo yang duduk di sebelahnya.

Diaz melepas tas punggung yang ia gendong lalu diletakan di meja. Tangannya dengan cepat membuka tas dan mengambil salah satu buku tulisnya.

"Buruan salin, jam pertama lima belas menit lagi," ujar Diaz setelah meletakkan buku Geografinya di hadapan Aldo.

Satria, Raga, dan Regal yang kebetulan juga mendengar ucapan Diaz pun langsung berlarian mengerubungi Aldo untuk ikut menyalin pekerjaan Diaz yang pasti bernilai sempurna.

"Untung punya sahabat kek Diaz. Menang banyak," komentar Regal lalu menggigit tutup pulpennya di sela kegiatan menyalin super cepatnya. Tidak peduli lagi jika kecepatan supernya membuat tulisannya semakin sulit dibaca.

***

Bruk.

Diaz mundur selangkah akibat tubrukan keras yang terjadi dengan seseorang di hadapannya. Buku-buku berjatuhan dan tercecer di hadapannya. Tanpa melihat siapa korbannya, Diaz pun jongkok dan memungut buku itu dengan gerakan cepat.

"Maaf tadi gue nggak sengaja."
Diaz berdiri mengangkat buku yang berhasil ia tata rapi.

Sebelah alisnya terangkat. Rupanya cewek tadi pagi lah yang ia tabrak. Dari jarak sedekat ini Diaz bisa melihat cewek itu dengan jelas.
Wajahnya pucat tanpa polesan.
Diaz saja sampai merinding, seperti tak ada kehidupan dalam diri cewek di hadapannya.

Cewek itu menatap tanpa kedip ke arah Diaz. Tangannya terulur merebut tumpukan buku di tangan Diaz dengan gerakan kasar.

Diaz terkejut bukan main saat merasakan dingin---setara dengan es, saat kulit tangannya bersentuhan langsung dengan kulit cewek itu.

"Sekali lagi maaf, gue nggak sengaja. Lo nggak papa, kan?" tanya Diaz.

Tak mengeluarkan suara, cewek itu mundur selangkah membuat jarak dengan Diaz.

"Lo mau kemana? Biar gue yang bawain buku itu sebagai permintaan maaf gue karena nabrak lo tadi," ujar Diaz tak menyerah. Jujur saja ia mulai penasaran dengan cewek di hadapannya. Alih-alih mendapat jawaban, cewek itu hanya melempar tatapan kosong.

Diaz menggaruk kepala, bingung sendiri dengan cewek aneh di hadapannya.

Tiba-tiba saja cewek itu pergi meninggalkannya.

"Aneh," komentar Diaz menatap punggung cewek itu yang semakin menjauh.

Tbc

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I CAN SEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang