25 - Mothers

572 83 0
                                    

Jihoon mulai memasuki sebuah kastil dengan nuansa yang masih sama dengan kastil sebelumnya. Kastil yang tentu saja beraura gelap dan memiliki penerangan minim.

Rubah kecil yang menuntunnya telah menghilang tepat di depan kastil beberapa saat lalu.

Tak bisa dipungkiri bahwa kini jantungnya berdebar tak karuan. Jelas saja sudah ratusan tahun ia tak bertemu sosok yang melahirkanya ini.

Yang masih ada di ingatannya bahwa ibunya memiliki wajah yang amat sangat manis walau sifatnya benar-benar bertolak belakang dengan wajahnya. Begitulah ia mendapatkan sifatnya sekarang ini. Sifat yang seperti ular namun berwajah seperti kelinci.

Pintu di ujung sana terbuka dengan sendirinya. Jihoon dapat mendengar nada-nada padu oleh dentingan piano. Jihoon yakin bahwa disanalah ibunya berada karena sang ibu amat sangat menyukai piano.

Jihoon tersenyum kala melihat sosok pria dengan rambut coklat memainkan sebuah grand piano.

Benar bukan, ibunya sosok yang amat cantik. Mata pria itu tertutup seolah menikmati dengan sangat permainannya. Kala ia usai, Jihoon dapat melihat manik karamel itu menatap ke arahnya.

Pria itu menutup pianonya lalu berjalan menuju Jihoon.

"Hi, son. Wanna hug me?"

Tak perlu waktu yang lama untuk Jihoon jatuh kepelukan sosok yang amat ia sayangi itu.

Jihoon dapat merasakan pelukan yang benar-benar ia rindukan. Walau ia sosok yang amat sangat handal dalam segala kondisi, ia tetaplah seorang anak yang juga perlu kasih sayang.

Kini mereka duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

Jihoon sama sekali tak berniat berjauhan dengan ibunya. Ia meletakan kepalanya di pangkuan ibunya. Hei, kau akan jarang melihat sosok Jihoon yang seperti ini.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya ibunya.

Jihoon tersenyum kecil.

"Lebih dari baik. Memerlukan banyak waktu untuk bisa bertemu dengan saudaraku yang lain. Oh ma, kau semakin muda saja." Kata Jihoon.

"Tentu saja son, Pa mu itu mengembalikan kemudaan ma. Aku masih ingat ketika kau menangis keras saat ma hampir menghembuskan nafas terakhir. Apa ma jelek saat itu? Umur ma mungkin sudah 90 tahun saat itu."

Jihoon tersenyum kembali. Kenangannya semasa kecil kembali terulang. Namun sedetik kemudian Jihoon terdiam.

"Hei, ma... Aku ingin bertanya. Aku ingat bahwa daddy biasa saja terhadapku walau aku bukan anak kandungnya. Mmm... Bisakah ma menceritakan saat ma bertemu dengan pa hingga aku lahir?"

Ibu Jihoon menyeritkan dahinya.

"Kenapa kau ingin mengetahuinya, son?"

Jihoon terdiam kembali.

"Pertama aku hanya ingin tahu karena aku adalah master dari ilmu pengetahuan. Karena aku ingin tahu kenapa ma yang terpilih bukan orang lain. Dan alasanku sebenarnya.... karena aku takut ma terluka seperti ma Minki. Hatiku sangat sakit kala menyaksikan dengan mataku ini bagaimana kehidupan ma Minki."

Pria itu tersenyum.

"Kita tunggu saat semuanya berkumpul. Mungkin saat makan malam. Itu yang kami sepakati sebelum kalian datang."

Jihoon hanya mengangguk menyetujui.

.

.

.

.

.

.

.

A Sky Above The SkyWhere stories live. Discover now