Widya : Lanjutan 6

10.2K 325 3
                                    

Sebuah pesta. Tepat di sebuah tanah lapang samping jalan raya, seperti sebuah area perkampungan. Disana, lengkap dengan orang-orangnya, juga panggung tempat musik di dendangkan. Wahyu dan Widya, terdiam cukup lama, seperti termenung memastikan bahwa yang mereka lihat, manusia.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu dan Widya tercekat saat ada orang tua bungkuk bertanya tiba-tiba tepat di samping mereka.

"Nopo le" (ada apa nak?)
Suaranya halus sekali, sangat halus.

"sepeda'e mblodok?" (motornya mogok?) Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah.

Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda. Kemudian, menuntun sepeda menepi dari jalan raya. Tidak lupa, si orang tua mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sebentar, sembari menunggu motornya di betulkan. Suasananya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya sendiri-sendiri.

Ada yang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan yang di tabuh seirama, lengkap dengan si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk.

"aku ra eroh nek onok kampung nang kene?" (aku tidak tau ada kampung disini?)

Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung. Didepan penabuh gamelan masih ada ruang, acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu. Rupanya, pertanyaan Widya segera terjawab. Dari jauh, tiba-tiba tercium aroma melati. Aroma yang familiar bagi Widya.

Di ikuti serombongan orang. Dihadapannya ada seorang penari, ia di tuntun naik ke atas panggung. Kemudian, semua orang memandang pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung. Semua mata, seperti terhipnotis melihatnya.

"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng!!)
kata Wahyu bingung.

Apakah hanya perasaan saja, mata si penari beberapa kali mencuri pandang pada Widya. Ia seperti mengenal penari itu. Tapi, tidak ada yang tau siapa si penari, sampai si bapak tua kembali menawarkan makanan pada mereka.
Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis mulai dari lemper sampai apem di hadapanya. Sembari bercakap-cakap sama si bapak tua. Namun, Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.

Setelah si penari turun dari panggung. Si bapak mengatakan, motor mereka sudah selesai, bisa di naikin lagi. benar saja. Motor mereka sudah bisa di pakai lagi. Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan, mereka berterimakasih sudah mau menolong mereka yang kesusahan.

Si bapak mengangguk, mengatakan mereka harus hati-hati, tidak lupa si bapak memberi bingkisan, menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya. Itu adalah jajanan yang di hidangkan tadi, membungkusnya dengan koran. Widya menerimanya, mengucap terima kasih lagi, lalu lanjut pergi.

Tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus berbicara tentang cantiknya paras si penari. Kisaran usianya mungkin lebih tua dari mereka. Namun, cara dia berdandan bisa menutupi usianya sehingga dari jauh, kecantikannya terlihat begitu sulit di gambarkan.

Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. Demi apapun, sewaktu perjalanan, tidak di temui satu kampung pun. Jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali. Namun, motor Wahyu benar-benar mereka betulkan dan mereka tulus membantu tanpa meminta apapun.

jadi, apa mungkin, hantu bisa membetulkan motor. Satu yang coba Widya yakini, mungkin mereka tidak melihat kampung tadi saja, yang terpenting di jalan setapak ini, Desa KKN mereka sudah semakin dekat. Sesampainya di kampung, Wahyu pergi mengembalikan motor, sedangkan Widya sudah di tunggu oleh semua anak. Mereka khawatir, berdiri menunggu di teras rumah.

"tekan ndi seh?? kok suwe'ne"
(darimana sih? kok lama sekali) kata Ayu.

"tekan Kota, belonjo keperluan kene"
(dari kota, belanja keperluan kita)

KKN Desa PenariWhere stories live. Discover now