05. Anomali

31K 3.9K 282
                                    


Teman baik yang ceriaPinguin kecil Pororo~
Teman imut yang menyenangkan
Porong porong porong porong, Pororo~
Porong porong porong porong, Pororo~

Teman baik yang ceriaPinguin kecil Pororo~Teman imut yang menyenangkanPorong porong porong porong, Pororo~Porong porong porong porong, Pororo~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rasanya ... ada yang kurang. Ada yang ketinggalan. Tapi apa?

Perasaan tidak lengkap itu bergelayut di kepala Rindang hampir sepanjang perjalanan. Ia bahkan menyempatkan untuk memberikan pengecekan ulang, setelah menggantungkan helm pada spion motor.

Helm ada. Lagipula kalau ia lupa memakai helm, sudah dari tadi ia ditilang. Pernah sekali, Rindang pergi dan lupa memakai helm, akibatnya ia harus mati-matian berjuang melewati gang-gang sempit, dan berakhir nyasar. Baju dipakai. Pernah dulu Rindang mau sekolah hanya memakai dalaman karena lupa memasang seragam. Tas ada. Dulu juga dia lumayan berlangganan lupa membawa tas. Ia pergi ke sekolah membawa badan serta amal ibadahnya saja, meninggalkan tas di rumah.

"Lo manusia spesies apa sih, Lin?" Sashi sampai memijat kening waktu itu. "Orang, tuh, yang ada lupa bawa buku paket, lupa bawa pensil, lupa bawa buku tulis Biologi, lupa ngerjain PR. Lah, lo lupa sama masuk sekolah, dan sekarang lupa bawa tas!"

Rindang hanya tersenyum tanpa dosa. Ia tidak terlihat terlalu merasa bersalah pada orang yang sebagian buku-bukunya dipindahkan ke meja sendiri. Biar guru tidak tahu ada murid yang lupa bawa tas. Biar guru tidak tahu langganan peringkat tiga besar di kelas IPA-1 ini ternyata sebobrok itu.

Sepertinya semua baik-baik saja, dan Rindang tidak paham rasa ketinggalan ini berasal. Ia berusaha mengenyahkannya. Mengingat menit terus bergeser dan lagi-lagi, ia terlambat. Barulah ketika ia membuka pintu York, hingga lonceng kecilnya berdenting dan berjalan masuk dalam langkah waspada, ia dipertemukan dengan jawabannya.

Mbak Fany yang saat itu tengah duduk di salah satu sofa, menulis sesuatu di buku jurnal karyawan, melotot melihatnya.

"Lin! You know that sandals ain't allowed here, right?"

Sebentar. Sandals?!

Rindang menatap kedua kakinya dan ... tiba-tiba ingat Tuhan. Ia berdzikir seraya mengelus dada. Bisa-bisanya Rindang lupa memakai sepatu dan pergi bekerja hanya memakai sandal rumah! Mana warnanya kuning. Mana tipis. Tumitnya saja hampir lecet karena keseringan dipakai. Kalau ditukar sama sandal masjid, masjidnya pasti tidak bersedia.

"I ... forgot," jawabnya, blank.

"Gimana bisa? Kan, udah standar kerja pake sepatu."

"Apa aku mesti balik, Mbak?" Rindang meringis. Ia menengok sebentar keluar, dan mengingat kembali perjuangannya sampai sini. Jakarta Selatan dan kemacetan memang tidak dapat dipisahkan. Seperti orang habis jadian kemarin sore. "Tapi, jalanan semacet ini. Kalo aku balik, bisa-bisa pas Isya, Mbak, baru balik sini lagi."

RINDANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang