25. Derai hujan

17.4K 3.3K 360
                                    


Hatchi anak yang sebatang kara pergi mencari ibunya
Di malam yang sangat dingin teringat mama ...
Walaupun kesepian Hatchi tetap bergembira
Mama ... Mama ...

Saat itu, hujan belum reda sejak sejam lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat itu, hujan belum reda sejak sejam lalu. Hujan memerangkapnya di bawah atap gedung sekolah. Semua terasa horor karena sepi. Kedua sahabatnya telah pulang lebih dulu. Sashi bersama pacarnya, sedangkan Ursa selalu dijemput mobil mewah. Nyaris semua orang telah meninggalkan sekolah sebelum badai terjadi. Sementara Rindang masih terjebak di kantor kedisiplinan karena terlambat mengikuti upacara.

Seperti efek domino, setelah keluar dari cengkeraman guru kedisiplinan galak, air yang tumpah ruang dari langit seperti hukuman lanjutan untuknya. Rindang ingat, membawa payung atau jas hujan secara rajin bukanlah gayanya.

Rindang mengulurkan tangan melewati lindungan atap. Ia membiarkan tangannya segera diserbu hujan. Ia membuka telapak tangan, menampung air sebanyak yang ia bisa, dan menikmati bagaimana tetes-tetes itu memijit pergelangannya pelan. Di atas, langit semakin gelap. Rindang masih belum menyusun rencana apapun untuk pulang.

Lalu, sosok itu datang begitu saja.

Samudera di sisinya. Ingatan awalnya sempat terkubur. Cowok itu masing asing. Rindang belum mengingat Samudera sebagai musuh.

"Kenapa masih di situ?" tegur cowok itu.

Rindang menoleh ke sisi. Ia masih dapat mengingat sosoknya saat itu. Kulit yang sedikit terbakar matahari, model rambut yang populer saat itu, seragam dengan kancing atas terbuka, menampilkan kaos hitam di baliknya, serta tanpa dasi. Tipe-tipe pembuat onar. Rindang melihat cowok itu melepaskan tas punggungnya dan menaruhnya di bangku koridor. Rindang mengernyitkan dahi.

Pertanyaan itu tidak sempat ia suarakan. Detik berikutnya, cowok itu telah melangkah menembus hujan. Kecipak genangan air yang dilindas sepatunya bahkan memercik pada kaus kaki bergambar bebek Rindang. Dalam hitungan menit, hujan deras membuat basah kuyup.

Samudera menghempaskan rambut yang jatuh menutupi wajah ke belakang, membebaskan dahi. Lalu, tersenyum, begitu saja, ke arah Rindang.

"Ayo, giliran kamu!"

Giliran .. apa?

Hujan-hujanan? Tidak. Meskipun sangat menggoda untuk mandi hujan seperti dirinya di masa kecil. Namun mengingat wajah galak Om Ruslan, dan Mina yang pasti akan mengadu pada ibunya, Rindang mengurungkan niat.

Rindang menggeleng.

"Ayo."

Hal selanjutnya yang ia ketahui adalah basah yang menyergap kaki, lalu pundak, turun hingga seluruh badan. Kepalanya serasa ditampar tangan-tangan kecil. Dan ia tertawa. Rasanya menyenangkan. Semuanya menyenangkan. Deras air yang turun membuat rambut poninya turun ke wajah. Matanya kesulitan membuka dan mulutnya mulai dirembesi air dingin tawar.

It's not bad.

"Mau pulang sekarang?" Samudera bertanya.

Tanpa menunggu jawab, ia berlari ke suatu tempat. Terlihat plastik kresek merah di tangan, dan ia memasukkan tas-tas mereka ke dalam sana. Ia kembali pada Rindang. "Ayo pulang. Hari ini bawa sepeda, kan?"

Ada banyak sekali pertanyaan saat itu. Seperti bagaimana ia tahu? Kenapa semua ini terasa aneh dan akrab sekaligus? Tapi Rindang justru mengikuti jejak langkah cowok itu. Ia menuju parkiran, di tengah hujan, hingga menyuarakan pertanyaan paling atas di kepalanya.

"Kamu kenapa hujan-hujanan?"

Samudera tidak langsung menjawab. Ia menarik sepeda di samping sepeda Rindang, menggantungkan kresek di stangnya, lalu naik.

Saat itu hujan masih deras dan mereka bertatapan. Hanya terhalang percik-percik air yang berjatuhan.

"Sekali-sekali. Biar ada satu kenangan yang bisa kamu ingat."

Ingatan itu sempat terkubur. Entah bagaimana caranya, ia mengingatnya lagi sekarang. Bersepeda di bawah deras hujan. Petir yang membuatnya mengekor rapat di belakang cowok itu. Daun yang bergoyangan dan aspal yang bebas nan lengang. Setelah sembilan tahun, kenangan itu kembali, menyembul ke permukaan. Mungkin, berkat hangat yang menyentuh ujung bibirnya. Samudera.

Rasanya ... aneh. Jika bersentuhan ujung jari dengan Samudera rasanya seperti tersengat lebah, maka sekarang ... sekarang berbeda. Dengan bibir yang bertemu, wajah yang berjarak begitu dekat, napas tertukar, rasanya seperti ditarik masuk ke dalam lubang hitam, meski belum pernah. Tulang-tulangnya terasa dirontokkan, sementara tubuhnya tersihir untuk diam di tempat. Beku seperti patung. Termasuk otak.

Mereka terperangkap dalam sensasi itu.

Sampai akhirnya, akal sehat Rindang kembali. Ia mendorong Samudera menjauh. Lemah nyaris tanpa tenaga. Tapi pria itu mundur seolah ia sudah bisa menebaknya. Selama detik-detik yang merayap sepuluh kali lebih lambat, mereka bersitatap. Di sela-sela gerimis senyap, ada pertanyaan yang menggantung di antara mereka; tentang restunya akan tindakan impulsif tersebut, keberatannya, dan perasaan yang sesungguhnya.

Dan jawabannya ialah satu langkah mundur yang diambil Rindang.

Udara terasa berat untuk dihirup. Rindang bahkan tidak tahu alasannya. Ciuman itu ... membekukan otak. Mungkin, selama beberapa detik, ia tersihir. Namun di sisi lain, ia marah. Sangat.

"Sebenci itu kamu sama saya?"

Keputusasaan dalam suaranya begitu kental, sehingga mustahil untuk diabaikan. Namun, Rindang tidak menjawab. Otaknya terasa kacau dan terlebih, hatinya. Kediaman yang gadis itu pilih, kemudian seolah mengamini semua ucapan Samudera.

Sementara di luar, hujan kembali menderas. Rintik-rintik itu kembali dengan bising. Rindang mulai merasakan percikan itu di pundaknya. Ia melihatnya mulai membasahi Samudera.

Cowok itu mengangguk.

"Maaf," gumamnya lirih. "Kalau kamu memang sebenci itu dengan saya, kalau kamu memang ingin saya pergi, kalau itu yang bisa membuat kamu bahagia, saya mengerti. Maaf telah kurang ajar sama kamu. Maaf telah mengganggumu selama ini. Maaf atas ... semuanya."

Samudera mengambil satu langkah mundur. Ia sepenuhnya berada di bawah hujan. Rindang ingin mengulurkan tangan untuk menariknya. Tapi kemarahannya dan kebingungannya tidak mengizinkan.

"Hari ini akan jadi hari terakhir saya bicara sama kamu. Tenang, besok-besok, saya nggak akan ganggu lagi."

Mendadak, Rindang dapat melihat lagi sosok di bawah hujan waktu itu. Meski sekarang ia sudah tidak terbakar matahari. Meski sekarang rambutnya sudah tidak menutup dahi. Meski sekarang ia tidak tersenyum.

Dan tepat ketika Samudera membalikkan punggung, berlari menjauh tanpa pernah menoleh lagi, detik itu juga rasanya ... ada yang hilang.

RINDANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang